Idul Fitri seharusnya jadi momen kemenangan, tapi bagi banyak perempuan, justru penuh tekanan. Pertanyaan seperti "Kapan menikah?" atau "Kapan punya anak?" sering kali lebih menyakitkan daripada yang disadari. Sudah saatnya kita mengganti penghakiman dengan doa yang tulus. Baca selengkapnya di sini ⬇️
Idul Fitri adalah perayaan kemenangan. Bukan hanya kemenangan dalam menahan lapar dan dahaga, tetapi juga kemenangan dalam mendidik hati, menjadi lebih lembut, lebih lapang, lebih peka pada sesama. Ini adalah hari di mana kita kembali pada fitrah, membawa diri yang baru setelah perjalanan panjang di bulan suci. Dalam gema takbir yang memenuhi langit, dalam pelukan keluarga yang lama dinanti, dalam suapan pertama setelah sebulan penuh berpuasa, seharusnya kita merasakan kebahagiaan yang utuh, tanpa syarat.
Namun, bagi banyak perempuan, Idul Fitri juga menjadi momen yang penuh tekanan. Lebih dari sekadar menerima ucapan selamat, kami harus bersiap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang datang tanpa diundang:
"Kapan menikah?"
"Kapan hamil?"
"Kapan punya anak?"
Seakan-akan kebahagiaan seorang perempuan hanya sah jika ia menikah dan melahirkan. Seakan-akan hidup kami harus berjalan di jalur yang sudah digariskan oleh masyarakat. Seakan-akan kami tidak akan pernah cukup jika belum mencapai tahapan-tahapan itu.
Tapi, pernahkah kita bertanya, mengapa pertanyaan-pertanyaan ini begitu mudah dilontarkan, seakan-akan kehidupan seseorang perempuan adalah urusan publik? Pernahkah kita berpikir bahwa di balik senyum yang berusaha kami pertahankan, ada luka yang tak terlihat?
Ada perempuan yang sedang berjuang melawan rasa kehilangan karena keguguran berulang kali. Ada yang bertahun-tahun berusaha hamil tetapi belum berhasil. Ada yang diam-diam menangis setiap kali melihat test pack dengan hasil negatif. Atau, ada pula yang memang memilih untuk belum atau tidak memiliki anak, namun terus-menerus dipaksa untuk menjelaskan keputusannya.
Sementara itu, laki-laki nyaris tidak pernah ditanya atau dituntut dengan cara yang sama. Mereka bebas mengejar mimpi, membangun karier, menentukan arah hidup mereka sendiri, tanpa harus membuktikan bahwa mereka layak dihormati. Mengapa perempuan tidak mendapatkan perlakuan dan kebebasan yang sama? Mengapa standar 'kelayakan' perempuan harus selalu diukur dari pernikahan dan kehamilan, sementara laki-laki dibiarkan menentukan kebahagiaan mereka sendiri?
Ini bukan sekadar pertanyaan. Ini adalah bentuk penghakiman.
Kita sering kali lupa bahwa Idul Fitri bukan hanya tentang baju baru dan meja makan yang penuh hidangan. Ini adalah momen refleksi, momen untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita telah cukup menjaga lisan? Apakah kita telah memperlakukan orang lain dengan kelembutan? Apakah kita telah membebaskan diri dari prasangka, atau justru masih terjebak dalam pemikiran yang menghakimi?
Idul Fitri adalah hari di mana kita meminta maaf dan memaafkan. Tapi mungkin, sebelum meminta maaf, kita harus terlebih dahulu belajar memahami. Memahami bahwa tidak semua pertanyaan perlu ditanyakan, bahwa tidak semua percakapan adalah sekadar basa-basi. Memahami bahwa setiap orang memiliki jalannya sendiri, dan kita tidak berhak menilai, menghakimi apalagi menentukan pilihan hidup dan kebahagiaan mereka.
Sudah waktunya kita berhenti menjadikan rahim perempuan sebagai bahan perbincangan. Sudah waktunya kita mengubah cara kita melihat perempuan. Kebahagiaan seorang perempuan tidak hanya bisa diukur dari pernikahan atau kehamilan. Ia bisa hadir dalam banyak bentuk: dalam karya yang diciptakan, dalam mimpi yang sedang dikejar, serta dalam perjalanan yang kami inginkan.
Idul Fitri adalah momen kemenangan, bukan penghakiman. Jika benar kita ingin merayakan kebersamaan, seharusnya kita menyebarkan ketulusan, bukan tekanan. Daripada bertanya "Kapan menikah?" atau "Kapan punya anak?", mengapa tidak menggantinya dengan doa yang lebih tulus? "Semoga kamu selalu sehat dan bahagia". Karena kebahagiaan sejati tidak datang dari menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain, tetapi dari hidup yang dijalani dengan penuh makna dan keikhlasan.
Di hari yang suci ini, semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih lembut dalam bertanya, lebih bijak dalam berbicara, dan lebih hangat dalam mencintai, tanpa syarat, tanpa tuntutan. Karena pada akhirnya, yang seharusnya kita jaga bukan urusan orang lain, melainkan cara kita memperlakukan sesama dengan hormat dan empati.
#LukaDiHariRaya #RefleksiIdulFitri #HargaiTanpaMenghakimi
Penulis: Bunga Dessri Nur Ghaliyah (30 Maret 2025 M, 30 Ramadhan 1446 H)
0 Komentar