Resensi Buku Estetika Paradoks Karya Jakob Sumardjo (2006)

Jakob Sumardjo adalah salah satu pelopor kajian filsafat Indonesia. Jakob banyak menulis mengenai estetika Sunda, baik itu dalam artikel, jurnal maupun buku. Sepanjang karirnya, ia menghasilkan hampir 50 buku dan ratusan artikel. Salah satu buku karya Jakob yang menarik adalah buku berjudul Estetika Paradoks. 

Buku Estetika Paradoks dicetak ke dalam beberapa versi, salah satunya adalah buku Estetika Paradoks yang diterbitkan oleh Sunan Ambu Press tahun 2006. Secara subjektif, penulis berpendapat bahwa buku ini merupakan buku paling ringan (paling mudah dipahami) diantara versi-versi lainnya. 

Dilihat dari gambar sampulnya yang berjudul “Tokoh Dipercaya Rakyat”, buku ini sudah cukup menarik dan menggugah minat para pembaca untuk memahaminya. Melalui desain sampul buku ini, sejak awal para pembaca sudah diajak berpikir untuk berinterpretasi sesuai dengan pemaknaan mereka secara subjektif. 

Buku Estetika Paradoks 
Karya Jakob Sumardjo


Di dalam pembahasan awal (pengantar) yakni dalam bagian pendahuluan, penulis menyimpulkan bahwa Jakob berusaha memprovokasi para pembaca untuk bangga pada asal-usulnya, diantaranya pada artefak-artefak yang memuat kekayaan pemikiran-pemikiran nenek moyang kita. 

Tak hanya menafsirkan bentuknya, Jakob juga menafsirkan fungsi dan cara pembuatan artefak-artefak tersebut yang diulas secara terperinci dalam buku ini. Artefak-artefak tersebut menjadi dasar Jakob untuk mengungkap pemikiran dan aktivitas manusia Indonesia terutama dalam konteks berpikir kolektif, cara pandang, juga kekayaan seni budaya pra-modern dan modern yang diwariskan secara tradisional (turun temurun). 

Seni berurusan dengan sesuatu yang transenden, spiritualitas, yang baru dan segar dari yang belum pernah ada atau diciptakan orang. Lebih dari itu, seni bukan hanya sebatas pengetahuan tentang transenden, tetapi juga mengimani hadirnya yang transenden tersebut, yakni daya-daya (energi) transendennya. 

Estetika Paradoks terdiri dari dua kata yakni estetika dan paradoks. Estetika bisa bersifat sangat subjektif. Pemaknaan estetika bisa berbeda antara satu individu dengan individu lainnya tergantung dari pengalaman dan proses sosialisasi seseorang. Paradoks adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Paradoks bisa bersifat sangat vertikal, tergantung bagaimana kita memaknainya. 

Konsep paradoks muncul ketika manusia Indonesia pra-modern menyadari bahwa segala sesuatu yang berada di dalam kehidupan ini terdiri atas pasangan-pasangan yang berbalikan, baik itu dinamakan pasangan kembar maupun pasangan oposisi. Masing-masing pasangan itu memiliki nilai yakni nilai objektif-empirik dan nilai objektif-kesadaran. Hal-hal yang dualistik tersebut dilatarbelakangi oleh kekosongan, kehampaan dan ketiadaan seperti halnya dalam mitologi Jawa. Contoh dari pasangan dualistik tersebut misalnya matahari dan, bukan, laki-laki dan perempuan, gelap dan terang dan lain-lain. 

Pemikiran pra-modern mempercayai adanya transenden. Tradisi pemahaman seni pra-modern berasal dari kebudayaan mistis-spiritualitas-keagamaan. Kebudayaan pra-modern berpikir kosmosentris, sementara kebudayaan modern lebih antroposentris. Manusia hanyalah bagian dari alam dan semua yang ada. Mikrokosmos manusia itu adalah makrokosmos semesta dan bagian pula dari sebuah metakosmos. 

Pandangan antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Ada jarak antara manusia dengan semesta dan pencipta. Dengan demikian, realitas itu tergantung dari masing-masing manusianya, yakni realitas kesadarannya atau cara berpikirnya. 

Ukuran-ukuran seni modern tidak dapat dipakai begitu saja pada karya-karya pra-modern Indonesia. Jakob menempatkan karya itu dalam cara berpikir budayanya. Menurut Jakob, dasar pola pikir masarakat pra-modern Indonesia terdiri atas pola dua, tiga, empat dan lima. 

Jakob Sumardjo Guru Besar ISBI Bandung
Pict: TEMPO/ Prima Mulia

Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan ulasan singkat mengenai 17 bab dalam buku ini.

1.        Asal Mula Kata “Seni”

Pada bab ini, Jakob menjelaskan asal-usul kata seni (art) yang mana dijelaskan bahwa pengertian seni it sendiri berubah-ubah sesuai dengan zamannya. Misalnya pengertian seni pada zaman Yunani berbeda dengan pengertian seni pada abad pertengahan dan sebagainya. 

Dalam pembahasan ini, Jakob secara rinci menjelaskan arti seni secara tekstual dan kontekstual termasuk di dalamnya dijelaskan mengenai spiritualitas.

2.        Filsafat Indonesia

Berbeda dengan masyarakat Barat, masyarakat Indonesia tidak memiliki semacam sejarah filsafat. Manusia indonesia lebih meyukai laku daripada ilmu. Praksis dianggap lebih penting dari teori. Pikiran-pikiran manusia Idonesia ditujukan untuk memasuki pengalaman transenden, yakni menyatu dengan Tuhan atau daya-daya transenden. 

Filsafat manusia Indonesia selalu kembali pada hubungan manusia dengan semesta, manusia dengan Tuhan dan hubungan semesta dengan Tuhan. Jadi, manusia Indonesia lebih memihak pada realitas faktual-objektif-pengalaman. Laku dan laku itulah ilmu. Dan ilmu tersebut dapat diungkap melalui menganalisis dan memberi makna artefak-artefak pra-modern Indonesia. Setelah itu, kita akan menemukan pola dan struktur dasar dari artefak-artefak itu.

3.        Completio Oppositorum

Dasar pandangan manusia pra-modern Indonesia bahwa realitas itu terdiri dari pasagan kembar oposisioner namun saling melengkapi. Manusia terdiri atas laki-laki dan perempuan. Keduanya berbeda, terpisah, berbalikan dan bertentangan, namun saling berhubungan. Hal tersebut digambarkan sebagai pola yang saling berkaitan. Hal tersebut disebut sebagai “Pola Tradisional”.

4.        Pola Dua

Dasar berpikir pola dua adalah bahwa hidup itu “pemisahan”. Dalam pasangan oposisi ada pihak yang dimengkan dan dikalahkan.

5.        Simbol Seni

Suzzane K. Langer dalam bukunya Philoshopy in a New Key menyatakan bahwa, simbol tak mewakili objeknya, tetapi wahana bagi konsep tentang objek. Dalam bicara mengeni sesuatu, kita bicra tentang konsep mengenai sesuatu itu, dan bukan sesuatu itu sendiri; dan semunya ini tentang konsep, bukan sesuatu itu, simbol-simbol harus dirtikan. Bilamana sebuah simbol diungkapkan, maka muncullah makna. 

Ketika simbol diungkapkan, maka makna akan muncul. Tulisan pada bab ini merupakan pijakan Jakob untuk membahas simbol-simbol seni masyarakat dengan pola pikir pola dua.

6.        Estetika Pola Dua

Masyarakat berpola pikir pola dua hidup dalam esksistensi dualisme (fenomena nampak dan tidak nampak). Yang tidak nampak (daya-daya non material) hadir dalam yang nampak. Simbol dalam estetika pola dua ini adalah simbol paradoks dimana paradoks itu berupa bersatunya dua unsur yang saling bertentangan. Semua kehadiran dualistik tersebut distruktur saling berhadapan atau saling membelakangi, satu tetapi dua. Dimana dua itu saling bertentangan. 

Estetika budaya paradoks pola dua menekankan pasangan oposisi kembar pada karakter pertentangannya, bukan saling melengkapinya atau bukan berarti penghubung tetapi batas atau pemisah.  

7.        Pola Tiga

Pola tiga hampir terdapat di seluruh Indonesia. Pola tiga diulai dari budaya kaum peladang. Pada pola tiga ini tergambar sebuah hubungan antara dunia bawah, tengah dan atas (manusia, alam dan Tuhan).

8.        Seni Ritual

Religi selalu berhubungan dengan segala sesuatu di luar pengalaman manusia-budaya. Sesuatu yang transesnden (tidak dikenal/ tidak dapat dirumuskan manusia) dapat dihadirkan dalam dunia manusia, dapat dipercaya sebagai relitas yang digambarkan melalui simbol-simbol seni.

9.        Estetika Pola Tiga

Estetika pola tiga terfokus pada terbentuknya simbol-simbol paradoks berupa “dunia tengah” yang engharonikan semua hal yang dualistik antagonistik. Dunia atas dan dunia bawah bersatu di dunia tengah. Bahwa yang satu itu asalnya dari dua dan yang dua itu menghasilkan entitas ketiga yaitu paradoks. Yang satu itu tiga, yang tiga itu satu (tritunggal/ tripartit/ tritangtu).

10.    Pola Empat

Pola empat berkembang di masyarakat maritim (peisisr/ kepulauan) yakni masyarakat yang menghuni pulau-pulau kecil yang hidup dari kesuburan tanah dan kekayaan laut. Kosmologinya terdiri dari tanah, langit (hujan), laut dan duni manusia itu sendiri.

11.    Estetika Pola Empat

Pola ini terbagi menjadi empat unsur yang merupakan pasangan-pasangan berlawanan secara substantif. Empat unsur substantif yang saling berbeda tersebut merupakan satu kesatuan, sehingga menghaslkan entitas paradoks yang cukup kompleks. Jika keempat unsur tersebut disatukan maka akan menghasilkan sesuatu yang sempurna, sakral dan esaparadoksal.

12.    Pola Lima

Pola lima berkembang di masyarakat pesawah. Masyarakat pesawah dan peladang sama-sama disebut petani dan menggantungkan hidupnya dengan menanam padi, namun keduanya berbeda. Masyarakat peladang bertani di daerah perbukitan, sedangkan masyarakat pesawh bertani di dataran rendah.

13.    Estetika Pola Lima

Pengaturan pola lima masyarakat pesawahan merupakan sumber makna bagi praksis kehidupan. Semua hal dipola berdasarkan macapat kalimo pancer, baik alam rohaniah, alam semesta (jagad besar), manusia (jagad kecil), budaya (negara, seni, teknologi ekonomi). Macapat kalima pancer adalah paradigma hubungan tunggal dan plural. Tunggal adalah pusat dan plural adalah pengikut.

14.    Seni Batik

Seni batik merupakn produk pemikiran manusia sawah. Hal tersebut dibuktikan dengan motif-motif (simbol-simbol) batik yang berasal dari simbol kosmologi mereka.

15.    Wayang Kulit

Seperti seni batik, wayang kulit Jawa juga merupakan asli pikiran orang sawah. Wayang berasal dari kata mayang atau mahyang yang berarti hubungan dengan roh-roh nenek moyang. Hubungan tersebut dilakukan dengan cara mendatangkan roh-roh nenek moyang itu ke dalam pertunjukan yang melakonkan riwayat mereka.

16.    Gunungan Wayang

Gunungan wayang adalah salah satu bagian penting dan selalu ada dalam sebuah pertunjukan wayang. Gunungan berasal dari kata gunung (sesuatu yang bersifat gunung). Gunung-gunung di Jawa merupakan gunung api (baik itu yang masih aktif ataupun sudah mati), yang menjulang tinggi dari permukaan bumi ke langit. Gunung menghubungkan langit dengan bumi. Hal tersebut dimaknai Jakob sebagai dunia atas dan dunia bawah atau hubungan manusia dengan mahluk-mahluk dunia atas.

17.    Seni Keris

Keris adalah benda pusaka yang dianggap mengandung daya-daya gaib (diisi dengan daya-daya transenden), namun ada juga keris yng dibuat sebagai seni saja tanpa diisi daya-daya transenden. Keris merupakan medium vertikal seperti gunungn wayang, pohon hayat, pucuk rebung, tumpal, candi dan stupa. Keris biasanya dianggap keramat, karomah (medium sakral). 

Prof. Jakob Sumardjo
Pict: bogorkita.com

Setelah membahas mengenai seluruh bab dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa secara umum, buku ini sangat menarik dan memberi manfaat yang begitu besar umumnya bagi masyarakat Indonesia dan khususnya bagi para pengkaji seni dan budaya. 

Seperti biasanya, Jakob menyampaikan pemikirannya dengan ringan seolah-olah ia sedang menjelaskannya secara lisan. Segala sesuatu yang disampaikannya dalam buku ini merupakan ilmu yang padat dan dapat membuka pola pikir serta wawasan para pembaca. Namun, menurut penulis dalam buku ini terdapat sedikit kekurangan yakni terdapat beberapa materi yang dibahas beberapa kali (pengulangan pembahasan). 

Seluruh pembahasan dalam buku ini berkaitan satu sama lain, untuk itu para pembaca disarankan untuk membaca dan memahami buku ini secara rinci. Selain itu, untuk memahami buku ini secara terperinci, para pembaca memerlukan kamus khusus (selain KBBI) karena terdapat beberapa istilah yang perlu direnungkan.


Identitas Buku

Judul Buku        :    Estetika Paradoks

Penulis               :    Jakob Sumardjo

ISBN                 :    979-25-9830-8

Penerbit             :    Sunan Ambu Press – STSI Bandung

Editor                :    Ipit S. Dimyati

Desain Sampul  :    Joko Kurnain

Gambar Sapul   :    “Tokoh Dipercaya Rakyat” karya Alex Luthfi

Tata Letak Isi    :    Firmansyah Argus

Pracetak            :    Venny Anugrah Akal dan Apip

Tahun Terbit      :    Cetakan Pertama Juni tahun 2006

Tebal                  :    228 halaman

#JakobSumardjo #ReviewbukuEstetikaParadoks


Reviewer

Bunga Dessri Nur Ghaliyah 

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar