Urband Legend : Kuntilanak Merah Penunggu Sumur Pembuangan Darah Ruang Operasi

  



Namaku Rena. Ini ceritaku, sebuah pengalaman menakutkan di sekolah saat aku kelas 2 SMA, yakni sekitar tahun 2011.

***

Kota tempat tinggalku adalah daerah kecil yang ramai di siang hari, namun berubah drastis menjadi sangat sepi ketika matahari mulai tenggelam. Aku tak tahu pasti alasannya, namun mungkin saja karena saat itu masyarakat di sini masih mempercayai mitos tentang jurig sareupna, yaitu munculnya mahluk halus ketika hari mulai gelap.

Berbeda dengan kebanyakan orang di sini, sejak SMA aku sangat sering terlambat pulang, bahkan hingga tengah malam. Bukannya tak takut pada mitos, namun aku adalah siswi yang sangat aktif berorganisasi.

Aku mengikuti beberapa ekstrakulikuler, dan… aku sering menjadi panitia inti di berbagai kegiatan di sekolah. Karena itulah aku menjadi sangat sibuk dan keasyikan di sekolah, hingga akhirnya sering pulang malam. Tapi aku menganggap itu bukan masalah besar, karena jarak dari sekolah ke rumahku hanya 15 menit bejalan kaki.

Sekolahku terletak di pusat kota, tapi sama seperti karakteristik kota ini, suasana sekolahku pun berubah menjadi sangat sepi setelah jam pelajaran selesai, karena kebanyakan murid biasanya langsung bergegas pulang. 

Alasannya macam-macam, ada yang karena memang lelah, ada juga yang tak mau pulang kesorean, dan ada juga yang takut pada rumor tentang kisah horror di sekolahku.

Ya... memang sih, selama bersekolah di sini, aku sering mendengar desas-desus bahwa sekolahku ini cukup angker. Selain karena sekolahku sudah tua, sekolahku juga tepat bersebelahan dengan Rumah Sakit dan hanya dibatasi oleh selokan selebar kurang lebih satu meter saja. 

***

Suatu hari, salah satu ekstrakulikuler yang aku ikuti yaitu Pramuka, mengadakan pelombaan antar daerah. Lomba yang cukup bergengsi, dan didukung penuh oleh sekolah. Otomatis, beberapa hari sebelum hari-H, aku bersama teman-temanku selalu pulang hampir tengah malam untuk mengurusi berbagai persiapan lomba, seperti administrasi, sponsor, susunan acara, dan lain-lain.

Kemudian... kabar buruknya... karena saat itu sekolahku mengadakan pembangunan, ruangan atau sekretariat (sekre) ekskul Pramuka dipindahkan ke pojok paling pinggir sekolah, sangat dekat dengan selokan Rumah Sakit. 

Saat itu kami ragu dan agak keberatan, namun kami tak punya pilihan lain, karena hanya disanalah tempat yang kosong, dan mampu menampung seluruh anggota Pamuka yang jumlahnya cukup banyak.

Jika aku hendak ke sana, aku harus berjalan ke belakang kelas dan melewati lorong sepi, dengan pemandangan Rumah Sakit bertingkat di sebelah kananku. Setiap bolak-balik ke sana, terutama sejak sore hingga malam hari, aku sering merasa was-was, takut, dan merinding. 

Tapi… ya mau bagaimana lagi? Walau bagaimana pun rasanya kami cukup beruntung karena masih bisa diberi ruangan untuk berumpul dan beraktivitas.

"Ren, ngeselin banget ya, giliran mau ada kegiatan, eh sekre malah dipindahin ke pojokan, gelap banget, terus jauh mesti muter dulu ke belakang kelas. Mana deket Rumah Sakit lagi." ucap teman ekskulku, Dita.

"Ia sih Dit, serem banget, apalagi kalo udah mulai sore. Tapi ya... mau gimana lagi, sekre lama kan lagi dibenerin." jawabku.

Semakin mendekati hari H, setiap anggota semakin sibuk. Aku yang tadinya bisa diantar Dita, kini harus ke sekre sendiri. Sendiri melitasi lorong tua, usang dan gelap, lalu melewati benteng setengah dada dengan pemandangan Rumah Sakit yang mengerikan. 

Deg.. deg... deg...

Setiap pergi melewati lorong, jatungku berdegup kencang, bulu kuduk juga merinding. 

"Duh, kenapa ya, kok perasaan kaya ada yang ngeliatin terus?"

Berkali-kali aku berhenti, lalu menengok ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Tapi....Rasanya... benar-benar seperti ada yang menatapku dari jauh. Kalian pasti tahu kan bagaimana rasanya? Hmm.. 

"Sudahlah, mungkin ini hanya sugesti negatif akibat rumor sekolah saja", pikirku sambil kembali berjalan.

***

Sore hari, H-2 perlombaan, ekskul kami mengadakan rapat bersama para alumni dan pihak sekolah. Lalu, tepat sebelum magrib, aku baru menyadari bahwa aku lupa membawa satu berkas penting yang harus aku laporkan di rapat itu. Akhirnya, mau tidak mau, aku harus pergi ke ruang pramuka untuk mengambilnya.

“Kak, saya izin ke sekre, ada berkas yang ketinggalan” izinku pada ketua rapat, seorang alumni bernama Deri. 

"Oh ia Ren, boleh. Gak masalah kan pergi sendirian?" jawabnya.

"Mmm... Ia kak, gak apa-apa." jawabku ragu-ragu.

Sebenarnya saat itu aku takut pergi sendirian, karena kebetulan aku sedang haid hari pertama. Tapi teman-temanku sedang sibuk, hingga akhirnya aku keluar dari ruang rapat sendrian dan mulai berjalan menuju lorong.

Langkah demi langkah aku lalui. Pertama, aku melewati deretan bekas bangunan toilet yang cukup gelap dan kotor. Di sana hening, hanya terdengar suara air dari selokan di sebelah lorong. 

Lagi-lagi… aku merasa ada yang sedang melihatku dari jauh. Rasanya merinding, lalu aku pun terus melangkah sambil berdoa sebisaku di dalam hati. 

Ketika sampai di lorong, aku mendengar sesuatu di belakangku. Suaranya seperti kain yang bergesekan dengan lantai semen kasar. “Srekkk, srekkk” begitu. Tiba-tiba, ada angin yang berhembus dari arah belakang menyapu rambutku.

"Ya Allah... ada apa ini?" hatiku gelisah.

"Duh, bau apa ini? Bau anyir seperti bau darah. Apa ini bau toilet? Tapi toiletnya kan udah gak dipake."

Aku tidak berani menoleh ke belakang, lalu dari ujung mata sebelah kanan, aku melihat...

"Astagfirullah! Astagfirullah! Apa itu?" ucapku dalam hati sambil menangis. 

Dari balik jendela rumah sakit, ku lihat ada sepasang mata berwarna merah menyala yang terus menatapku. Sepasang bola mata yang bulat besar dan menyeramkan.

Badanku lemas, tapi aku berusaha terus berjalan sekuat tenaga menuju sekre, lalu menelepon temanku untuk datang.

***

Keesokan harinya, lomba pun dilaksanakan. Sepanjang hari aku sibuk, hingga akhirnya kegiatan selesai hampir tengah malam. Saking sibuknya, aku tidak sempat menceritakan kejadian kemarin kepada siapapun.

Di tengah kegiatan, tiba-tiba perut dan pinggangku sangat sakit. Lalu aku pergi ke kamar mandi.
"Duh, pantesan sakit banget. Lagi sibuk malah haid, udah gitu tembus lagi. Haduuhhh...". 
Aku lupa membawa celana ganti, tapi untunglah aku selalu membawa pembalut di tasku untuk berjaga-jaga.

Tengah malamnya, kami akan mengadakan evaluasi lomba. Aku sebagai seksi kesekretariatan harus menyiapkan berbagai berkas di ruang pramuka yang artinya, aku harus melewati lagi lorong yang sangat aku takuti. 

Saking sibuknya, sakit menstruasi pun tak terasa, aku juga belum sempat cuci muka apalagi mengganti pembalut.

"Duh, kelupaan belum ganti pembalut. Tapi warung udah pada tutup, lupa belum beli. Hmm yaudah nanti aja deh di rumah".

Tak jadi mengganti pembalut, aku bergegas menuju sekre untuk menyelesaikan berkas perlombaan. Tapi saat itu aku merasa agak lega, karena salah seorang temanku, Hani bersedia mengantarku, katanya sekalian dia juga ada yang ketinggalan di sekre.

"Alhamdulillah ada Hani", ucapku dalam hati.

Aku pun berjalan menuju lorong sambil diikuti oleh Hani. Suasana saat itu sedikit gerimis, sangat gelap, sepi, dan hening. Hmm... wajar sih karena hujan baru saja reda, dan sudah lewat tengah malam.

Agar tidak terlalu sepi, aku mengajak Hani mengobrol, “Han, makasih ya udah mau nganter. Kamu ada yang ketinggalan di sekre?” tanyaku. Tapi Hani tidak menjawab, dan ketika aku menoleh ke belakang, Hani tidak ada. 

Aku kaget sekali. Jantungku mendadak berdetak sangat cepat. Perasaanku tak karuan.

"Han.... Hani.... Kamu dimana?" ucapku.

Suasana di sana mendadak mencekam. Aku ingin lari, tapi kakiku lemas dan berat.

DuAkk! Tiba-tiba ada suara kencang dari belakangku.

Tak lama dari situ, aku mencium bau anyir. Bau yang sangat kuat.

Di tengah cahaya yang redup, perasaanku benar-benar tak karuan. Lalu... ketika aku tidak sengaja menoleh ke arah Rumah Sakit.... aku, aku melihat sosok yang sangat menyeramkan. 

Sosok wanita, dengan rambut kusut menjuntai hingga hampir menyentuh air selokan. Pakaiannya merah seperti darah, dan…. Ketika aku perhatikan, wajahnya sangat rusak. Wajahnya hancur dipenuhi luka dan darah. Dan.... bola matanya seperti hampir keluar. 

Ia pun terus menatapku dengan ngeri, lalu bibirnya menyeringai.

Deg, jantungku seperti berhenti sejenak. Seluruh tubuhku gemetar. Aku seketika membeku, tak bisa berteriak, badanku pun kaku, membatu. 

Aku memjamkan mataku, sambil berdoa sebisaku. Lalu, hantu merah tadi tertawa lirih. Tertawa, tapi sekaligus seperti menangis. 

"Ya Allah tolong aku Ya Allah", tangisku dalam hati.

Aku terus terpejam. Suara tawa mengerikan itu semakin terdengar menjauh, semakin sayup. 

Aku pun menangis.

Lalu... leher belakangku tiba-tiba dingin. Ada sesuatu yang menyentuh Bahuku. Seperti sentuhan jari, namun dingin dan teksturnya kasar. Lalu.... Jari-jemari itu merayap. Merayap dari bahu belakang hingga leherku. 

Aku tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Yang jelas, saat itu tubuhku bergetar hebat, lemas, dan pikiranku sangat kalut. 

Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. Pikiranku kosong, lalu aku duduk lemas di lantai.

Entah berapa lama aku berada di lorong, lalu aku pun sadar ketika Hani datang. Hani kaget melihat kondisiku yang masih gemetar ketakutan. 

"Ren kamu kenapa? Ren kenapa Ren?" tanya Hani.

"Dit, aku takut", jawabku sambil gemetaran.

"Ren sorry, aku tadi pergi ke toilet. Lagian kenapa kamu gak nunggu aku? Aku kan udah bilang tunggu sebentar", ucap Hani. 

Rasanya aneh, sebelum menuju koridor, katanya Hani memintaku untuk menunggunya di depan toilet dekat ruang rapat, tapi rasanya aku seperti tuli, tidak mendengar ucapan Hani.

Tanpa menceritakan apapun kepada Hani, aku pun langsung pulang ke rumah dan beristirahat. Walau pun kejadian tadi masih sangat membekas, aku berusaha untuk memejamkan mata sambil berdoa agar aku bisa tidur.

***

Hingga keesokan harinya, aku masih tidak menceritakan pengalaman mengerikan kemarin kepada siapapun karena saat itu aku masih measa syok, dan seluruh tubuhku rasanya sakit.

Hingga kemudian sepupuku datang ke rumahku dan bercerita bahwa sedang ada berita yang menggemparkan di tempat ia bekerja. Kalian mungkin sudah bisa menebak ia bekerja dimana. Ya, ia bekerja di rumah sakit di sebelah sekolahku, sebagai perawat. 

Ia bercerita bahwa beberapa rekan sejawatnya melihat sosok Kuntilanak Merah saat malam hari. Aku kaget, jangan-jangan…. Itu adalah sosok yang aku lihat kemarin. 

Lalu karena penasaran, aku bertanya “Teh, Kunti eta sok aya di caket sakola Rena teu?”, (Kak, Kuntilanak itu suka ada di dekat sekolah Rena gak?), kurang lebih begitu tanyaku dalam bahasa Sunda. Lalu sepupuku menjawab"

"Enya Ren, anu caket solokan", (Ia Ren, yang dekat selokan), jawab sepupuku.

"Dugaanku benar. Ternyata yang ku lihat kemarin bukan mimpi", ucapku dalam hati sambil mengingat kembali kejadian kemarin.

Sepupuku berkata, ternyata tapat di sebelah lorong sekolahku adalah ruang operasi yang didalamnya terdapat satu sumur pembuangan darah para pasien operasi. Konon, Kuntilanak Merah itu menjadi penunggu sumur darah itu karena menyukai aroma darah, dan sering mengikuti perempuan yang sedang haid, terutama jika baunya sangat menyengat.

Aku jadi ingat, kemarin aku sedang haid dan belum sempat mengganti pembalutku sejak pagi.


Cerita: Bunga Dessri Nur Ghaliyah (2011)

Thumbnail Pict: ladiestory.id

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar