Yani, May, dan Dida, Para Musisi Perempuan |
Bagi perempuan, menjadi seorang musisi itu banyak tantangannya. Beberapa kali saya mendengar pernyataan dari rekan sesama musisi bahwa perempuan itu susah diajak latihan, dan tidak konsisten sehingga sering dianggap sebagai hambatan dan kemudian hanya dijadikan pemeran figuran dalam suatu garapan.
Benarkah hal tersebut?
Daripada sibuk mencecar
para musisi perempuan, akan lebih baik jika kita bersama-sama menyelami stigma-stigma
tersebut lebih dalam lagi, agar para perempuan bisa mendapat akses dan
kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya.
Kali ini, mari simak tuturan
dari tiga orang musisi perempuan yakni May Julaeha (pemain kendang), Dida (pemain
kacapi), dan Yani (pemain kacapi) tentang hal tersebut.
Apakah pernah merasa
direndahkan sebagai musisi perempuan?
May : “Belum pernah, alhamdulillah hehe.”
Dida : “Saya pernah merasa direndahkan sebagai
musisi perempuan. Perempuan dianggap terbatas dari segi skill atau tenaga, dan
sering dianggap manja.”
Yani : “Pernah, tapi mungkin direndahkan lebih
karena kemampuan pribadi, secara kualitas bukan karena gendernya, karena banyak
kok perempuan yang kemampuan musikalitasnya diatas rata2 dan diakui juga.”
Mengapa musisi
perempuan sering dianggap tidak konsisten latihan?
May : “Musisi perempuan sering dianggap tidak
konsisten. Penyebabnya bukan malas, tapi karena tuntutan keadaan. Nyatanya,
jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki lebih banyak hal yang
harus dikerjakan di luar kegiatan seni.”
Dida : “Perempuan dianggap tidak konsisten
karena jarang latihan. Kalau diajak latihan banyak pertimbangannya. Kalau latihan
juga pasti ada aja dramanya, entah itu telat, atau ada aja izin nggak latihan. Padahal
nggak tau aja kebanyakan perempuan itu lebih banyak yang harus dikerjakan
dibanding laki-laki. Kalau laki-laki bangun tidur ku terus mandi lalu makan,
maka perempuan bangun tidur ku terus beres-beres, lanjut ini itu dan ritual
lainnya (mau yg masih lajang atau yang sudah berkeluarga) belum lagi kalau
kerja di luar.”
Yani : “Yang aku rasain, karena banyak hal
yang kita lakukan dan kita fikirkan di luar berkesenian, terlebih karena aku
udh berkeluarga.”
May : “Ada berbagai macam alasan, di antaranya karena tidak ada keseriusan dari diri pribadinya; karena tidak mendapat dukungan /izin dari pasangan/keluarga; atau karena tidak ada wadah dan fasilitas untuk berproses.”
Dida : “Ya itu, banyak yang harus dipikirin, banyak tanggung jawabnya, banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dipilih. Bukan karena skill, perempuan itu bisa lebih loh, kadang meskipun diijinin tetep pikiran balik lagi ke tanggung jawab (kayak aku yang beranak 2 hehe) maka dari itu, dukungan keluarga dan atau pasangan itu butuh banget.”
Yani : “Pertama, karena pilihan pribadi; kedua karena situasi.”
Apa hal yang sebaiknya
dilakukan agar para musisi perempuan bisa maju?
May : “Musisi perempuan bisa maju jika terus
berproses dengan konsisten serta memiliki fasilitas. Hal itu juga perlu
didukung oleh pasangan dan keluarga, karena tanpa dukungan, para musisi
perempuan tidak akan bebas dan sulit menggapai kesuksesan.”
Dida : “Butuh dukungan dan kerjasama dari
keluarga atau pasangan, perempuan itu multi tasking, apapun bisa dikerjakan
dalam waktu yang bebarengan.”
Yani : “Agar
bisa maju, para musisi perempuan harus yakin dan percaya pada kemampuan diri
sendiri, tentunya support dari keluarga dan lingkungan sekitar.”
Apakah dukungan dari
keluarga dan pasangan berpengaruh pada kesuksesan musisi perempuan?
May : “Sangat berpengaruh. Karena tanpa izin atau
dukungan dari mereka, kita tidak bisa sebebas sekarang.”
Dida : “Pengertian
dan dukungan dari pasangan dan keluaraga itu berpengaruh banget. Nggak usah
ngasih komentar cukup dengan kata ‘iya sok aja latihan anak-anak mah tenang
aja’ itu udah ngaruh banget”
Yani : “Bagi aku pribadi iya, karena kebetulan
pasangan bukan dari lingkungan seni musik. Jadinya harus ada penjelasan dan
pengertian. Selebihnya semua bisa di sepakati.”
Walaupun sekarang
istilah ‘pemberdayaan perempuan’ sedang menjadi perhatian, namun nyatanya
budaya patriarki yang selama ini sudah mengakar di pikiran masyarakat Indonesia
sulit untuk dihilangkan. Stereotip yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang emosional,
lemah, dan tidak konsisten masih terus tertanam dan masih sering menghambat keberlangsungan para perempuan di sektor publik, termasuk dalam bidang
musik.
Perempuan seringkali
memiliki beban ganda, yakni walaupun perempuan produktif di ranah publik
sebagai musisi, mereka pun masih menjadi satu-satunya pihak yang dianggap
bertanggungjawab terhadap segala hal domestik (urusan rumah tangga). Sebagai
akibat dari hal tersebut, di lingkungan karawitan tempat saya hidup misalnya,
banyak musisi perempuan yang tidak produktif bahkan berhenti menjadi musisi setelah
menikah dan memiliki anak.
Jika akses
perempuan di sektor publik terus terhambat, sampai kapanpun pemberdayaan
perempuan dalam ranah publik hanya akan menjadi angan-angan. Perempuan
berhak untuk memiliki peran dalam masyarakat dan mengembangkan potensi dirinya.
Maka dari itu, agar musisi
perempuan bisa konsisten dan sukses, salah satu faktor yang sangat berpengaruhnya
adalah dukungan dari pasangan dan keluarga.
Hal itu sebagaimana pendapat dari
ketiga musisi perempuan di atas yang menyatakan bahwa dukungan dari pasangan
dan keluarga adalah hal yang sangat penting, untuk kepentingan pribadi dan keluaraga.
Jika seorang perempuan dan pasangan serta keluarganya saling mengisi dan
mendukung dalam berbagai hal, maka akan tercipta kehidupan yang lebih baik,
keluarga yang seimbang dengan mental dan pikiran yang sehat dan terus melangkah
maju bersama-sama.
Jadi... Yuk dukung pasanganmu. Jangan biarkan mereka berhenti mengembangkan diri dan meninggalkan dunia yang ia cintai.
Tetap semangat ya untuk para musisi perempuan!
0 Komentar