Gamelan Sebagai Media Pendidikan Karakter

"Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia."
(Nelson Mandela)
Gamelan Sunda Sebagai Media Pendidikan Karakter


Selama ini, pendidikan di Indonesia kebanyakan hanya fokus pada aspek kognitif dan psikomotor, padahal anak didik perlu pula meningkatkan penajaman dalam sisi afektif, yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Hal tersebut dikemukakan Ki Hadjar Dewantara bahwa anak didik harus memiliki keseimbangan antara cipta (pikiran atau akal), rasa (perasaan), karya (niat atau kemauan), dan karsa (perbuatan). 

Ki Hadjar menganggap bahwa kecerdasan yang tak diimbangi karakter yang baik, akan menjerumuskan kehidupan anak bangsa. Maka dari itu, menurutnya pendidikan harus dimulai dari ‘dalam’ atau diawali dengan peningkatan kekuatan batin, yaitu mendidik budi pekerti, dan membangkitkan watak kebangsaan anak didik, seperti rasa toleransi, kebhinekaan, persatuan, gotong-royong, dan sebagainya. Kemudian agar hal tersebut berhasil, ia menegaskan bahwa sistem pendidikan harus diciptakan nyaman dan menyenangkan bagi siswa. 

Memainkan Gamelan Degung Saat Pasanggiri (Perlombaan) 2019
Dok: Venolisme

Pendidikan karakter ala Ki Hadjar dapat diterapkan melalui berbagai cara dan media, salah satunya adalah melalui Gamelan yang macamnya sangat beragam di berbagai daerah di Indonesia, misalnya Gamelan Sunda, Gamelan Jawa, Gamelan Bali, dan alat musik sejenis Gamelan lainnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Gamelan adalah seperangkat alat musik tradisional yang harus dimainkan secara berkelompok, dan memiliki berbagai aturan atau tata tertib yang harus dipatuhi agar dapat tercipta musik yang utuh dan harmonis, sehingga dapat dikategorikan sebagai media pembelajaran. 

Pendidikan Karakter 
Pict: Venolisme


Beberapa aturan dalam memainkan Gamelan di antaranya aturan bersikap dan aturan dalam menabuh. 

Aturan dalam bersikap diantaranya: 
1) Cara duduk seluruh penabuh harus dengan posisi duduk di bawah, yang berarti mengajarkan kesetaraan atau jangan membeda-bedakan status sosial; 
2) Cara memegang pemukul Gamelan harus disesuaikan dengan instrumen yang ditabuh, ada yang harus sangat lembut ada yang harus agak keras, yang berarti mengajarkan bahwa pemainnya harus bisa mengendalikan emosi; dan 
3) Cara memperlakukan gamelan harus sangat baik, misalnya jangan diduduki, jangan dikotori, dan sebagainya yang mengajarkan bahwa para pemainnya harus menghargai sumber ilmu. 

Selain aturan bersikap, terdapat pula aturan ketika memainkan Gamelan, di antaranya, 
1) Cara memainkan instrumen-instrumen dalam ensembel Gamelan harus sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing, tidak boleh saling mendahului, namun juga jangan tertinggal, yang berarti mengajarkan pemainnya untuk mengerti peran masing-masing, tidak egois, dan harus tetap fokus; 
2) Seluruh instrumen tidak bisa dimainkan oleh diri sendiri, namun harus oleh kelompok, yang mengajarkan jiwa sosial, kebersamaan dan gotong royong; 
3) Ketika sedang berlangsung, para pemain boleh melakukan improvisasi, namun harus tetap mengacu pada lagu utama, hal itu berarti para pemain harus kreatif, namun tetap penuh dengan perhitungan; 
4) Seluruh pemain harus memahami pola tabuh dan lagu, yang berarti para pemain juga harus menggunakan kecerdasan dan daya ingat. 

Jadi, pada intinya, melalui Gamelan, para anak didik dapat melatih rasa kerja sama, toleransi, berbagi, tidak egois, tidak saling menjatuhkan dan menonjolkan diri, menjaga harmoni, menjaga kebersamaan, dan sebagainya. 

Para Sesepuh Sedang Memainkan Gamelan Parakansalak
Pict: Venolisme


Suparli dalam Suhendi (2014:11) pun secara lebih spesifik mengemukakan bahwa terdapat enam sifat manusia (dalam hal ini Sunda) yang terdapat dalam Seni Gamelan, di antaranya:

1) Dépé-dépé handap asor hadé semu ka sasama yang bermakna tidak sombong; 
2) Leuleus jeujeur liat tali yang bermakna teguh pendirian; 
3) Bobot pangayon timbang taraju, abot énténg aya di salira, yang bermakna menerima terhadap segala keputusan; 
4) Nyanggakeun sadaya-daya yang bermakna pasrah sambil terus berupaya; 
5) Landung kandung laer aisan yang bermakna berpikiran jauh ke depan, dan memberi peluang kepada siapapun untuk berlindung pada dirinya; dan 
6) Rempug jukung sauyunan, gotong royong babarengan, yang bermakna setiap persoalan harus dihadapi bersama-sama. 

Keenam hal tersebut semakin menguatkan bahawa Gamelan dapat memperhalus budi dan menguatkan mental. 


Melatih Rasa Melalui Gamelan
Pict: Venolisme

Gamelan pun memiliki keunggulan lain, yakni dalam proses mempelajari dan memainkannya, para pemainnya (dalam hal ini anak didik), akan merasa senang, karena sedang bermain atau tanpa tekanan dan paksaan. Selain itu, Gamelan sebagai musik pun dapat lebih efektif dan efisien dalam menghaluskan rasa, karena melibatkan perasaan di dalamnya. 

Tan Malaka pernah berucap “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”, dan hal tersebut seluruhnya ada dalam Gamelan. Atas dasar hal tersebut, Gamelan cocok dijadikan sebagai media penerapan pendidikan karakter ala Ki Hadjar Dewantara, karena merupakan pembelajaran yang menyenangkan, sekaligus pembentuk budi pekerti yang baik bagi anak didik. 

Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah 


Sumber Bacaan:
Suhendi Afryanto, 2014, Seni Gamelan dan Pendidikan Nilai, Bandung: Sunan Ambu Press ISBI Bandung.

#Nilai-nilaidalamgamelan #Gamelandananak-anak #Gamelan #Pendidikanmenggunakangamelan #Pendidikankaraktermelaluikesenian #Gamelandansekolah #Suhendi Afryanto

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar