Perempuan Menjadi Pemain Rebab, Salahkah?

Para Perempuan Pemain Rebab Sunda


Pembagian Peran Antara Perempuan dan Laki-laki

Di dalam masyarakat terdapat pembagian, pemisahan, atau pengkutuban gender, yang disebut doing gender. Masyarakat mengkonstruksi peran, perilaku, aktivitas, atribut, dan kepatutan yang dianggap tepat untuk perempuan atau laki-laki. Dengan demikian setiap individu senantiasa hidup dengan mengacu pada harapan-harapan sosial dan dibelenggu oleh keharusan-keharusan, serta tuntutan-tuntutan yang bukan berlandaskan pada kebebasan dan ekspresi pribadi.

Anggapan sosial secara umum dalam masyarakat patriarki, performa laki-laki adalah maskulin dan perempuan adalah feminin. Pendikotomian tersebut terus dilakukan, salah satunya melalui pemberian sanksi informal terhadap individu yang tidak sesuai dengan kelaziman atau yang dianggap benar oleh masyarakat.

Pemisahan peran tersebut cenderung merugikan kaum perempuan karena perempuan dikonstruksi sebagai kelompok yang berada di bawah laki-laki. Laki-laki ditempatkan pada hirarki tertinggi, misalnya sebagai pemimpin dan pengambil keputusan, sedangkan perempuan hanya diberi peran sebagai pengikut dan cenderung lebih pasif. Dikarenakan adanya konstruksi tersebut, secara berlanjut perempuan sukar mendapat hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Proses doing gender yang merugikan kaum perempuan salah satunya terjadi dalam ranah musik tradisional Sunda, atau karawitan Sunda. Dalam karawitan Sunda akrab dengan pembagian jenis ‘pekerjaan’ yang dianggap layak untuk jenis kelamin tertentu. Misalnya dalang Wayang Golek diidentikkan sebagai pekerjaan laki-laki; pesinden yang dikhususkan untuk perempuan; pemain alat musik tradisional seperti pemain kendang dan pemain rebab yang identik sebagai ‘pekerjaan’ laki-laki; dan sebagainya.

 

Apakah Pemain Rebab Harus Laki-laki?

Sebetulnya tidak ada aturan tertulis mengenai pembatasan atau pelarangan terhadap perempuan untuk menjadi pemain rebab (juru rebab/ pengrebab), namun peran juru rebab dalam suatu sajian senantiasa mengarah pada performa yang diperuntukkan bagi laki-laki, sehingga sangat jarang ditemukan perempuan yang berprofesi sebagai pemain rebab.

Kondisi dan aturan dalam masyarakat telah membatasi ruang gerak perempuan, terutama kehadiran perempuan sebagai pemain rebab. Dalam sejarah rebab dalam karawitan Sunda, sangat jarang ada nama perempuan yang terkenal berprofesi sebagai pemain rebab. Hal itu membuat semakin jelas dalam hal ini laki-laki sangat mendominasi perempuan.

Laki-laki sebagai sosok yang dominan dalam kemasyarakatan dianggap sebagai seniman serba bisa, dianggap lebih pintar, dan dipandang lebih layak dijadikan pemimpin. Kerumitan memainkan rebab, serta peran dominan pemain rebab dalam sebuah garapan kesenian, menimbulkan anggapan bahwa perempuan sebagai mahluk yang dicap lemah, tidak akan mampu menguasainya.

Kemudian, untuk melanggengkan hal tersebut, beberapa pihak mengonstruksi mitos bahwa rebab adalah simbol perempuan, sehingga tabu jika dimainkan oleh kaum perempuan. Pada praktiknya, ketabuan tersebut pun dihubung-hubungkan dengan ketabuan lainnya, misalnya perempuan posisi duduk Ketika memainkan rebab yang bersila dianggap tidak pantas dilakukan perempuan.

Juru rebab sebagai pekerjaan laki-laki terus diamini oleh berbagai pihak, sehingga ketika ada perempuan yang menjadi juru rebab, maka akan menjadi sorotan dan menimbulkan kontroversi dalam masyarakat karena dianggap kurang lazim.

 

Saatnya Perempuan Berdaya

Pengetahuan yang diturunkan oleh para pendahulu adalah hal yang baik untuk diserap. Namun hal tersebut bukan berarti membuat penerusnya tidak berpikir dan tidak berupaya mempelajarinya lebih lanjut. Menjadi generasi penerus, bukan berarti tidak melakukan pembaharuan-pembaharuan yang lebih baik demi masa depan, baik itu untuk perempuan mau pun laki-laki.

Klaim-klaim yang merendahkan perempuan, sudah terbantah oleh ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Misalnya dari segi kecerdasan, berbagai penelitian membuktikan bahwa hal ini tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki dilahirkan memiliki kemampuan kerja otak yang seimbang. Begitu pun dalam hal motorik yang menurut penelitian, baik laki-laki atau pun perempuan akan berkembang seiring dengan proses Latihan yang dilaluinya.

Kemudian dari segi penyimbolan rebab. Penyimbolan atau pemaknaan sesuatu sudah sangat jelas bersifat subjektif, sehingga setiap individu berhak menafsirkannya secara bebas. Sehingga penyimbolan rebab sebagai perempuan adalah hal yang tidak mutlak.

Dari sikap duduk pun murni adalah konstruksi kebudayaan. Tidak ada satu sikap duduk pun yang dikhususkan untuk jenis kelamin tertentu. Terlebih dalam rebab, sikap duduk bersila memiliki fungsi nyata yakni untuk menahan kaki rebab agar bisa berdiri tegak saat dimainkan. Jika perempuan tidak diperbolehkan duduk bersila, lalu bagaimana jika rebab dimainkan dalam posisi berdiri? Apakah perempuan tidak boleh berdiri?

Di masa kini, kaum perempuan telah mendapat kesempatan secara lebih terbuka untuk menyampaikan ide-ide, menyuarakan hak-haknya, dan melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Maka dari itu, jika ada perempuan yang bercita-cita menjadi pemain rebab, maka hak untuk menggapai mimpinya tersebut tidak boleh dibatasi apalagi dibunuh.

Caca Sopandi

Hal tersebut didukung penuh oleh Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung sebagai pusat penelitian dan pengembangan seni, serta Caca Sopandi sebagai dosen pengajar alat musik rebab ISBI Bandung dan para dosen pengampu senantiasa mendorong kemajuan kaum perempuan untuk menggapai cita-citanya.

“Tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki. Menjadi pemain rebab adalah hak setiap individu. Kunci menjadi pemain rebab hanya dua hal yakni motivasi tinggi dan proses latihan.” (Sopandi, 2021)


Para Perempuan Pemain Rebab Sunda 

Sebagai maestro dan dosen rebab Sunda, Caca Sopandi selalu bercita-cita melahirkan para perempuan pemain rebab. Tekadnya tersebut pada akhirnya membuahkan hasil dengan dibarengi oleh semangat yang tinggi para murid-muridnya untuk berjuang bersama-sama untuk mematahkan mitos demi memperjuangkan hak para perempuan dalam karawitan Sunda.

Berikut ini potret para perempuan pemain rebab Sunda.


Bunga (spesialisasi rebab lulusan tahun 2016)

Melita (spesialisasi rebab lulusan tahun 2017)

Euis (spesialisasi rebab lulusan tahun 2022)

Dea (Mahasiswi spesiaslisasi rebab)


Meisya (Mahasiswi spesiaslisasi rebab)

Semoga dari waktu ke waktu, jumlah perempuan pemain rebab Sunda terus bertambah, dan kaum perempuan terus mendapatkan hak yang sama di dalam masyarakat.


Penulis: 

1. Caca Sopandi, S.Sen., M.Sn (Maestro Rebab Sunda & Dosen Alat Musik Rebab Sunda di ISBI Bandung)

2. Bunga Dessri Nur Ghaliyah, S.Sn., M.Sn (Perempuan pemain rebab & murid Caca Sopandi)


Untuk membaca artikel lainnya, silahkan klik DI SINI.



Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Sukses Kaka ....walaupun banyak tantangan yang harus Kaka hadapi do'aku selalu menyertaimu

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)