Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan atau violence (termasuk molestation, sexual abuse, sexual harassement) terhadap perempuan merupakan salah satu contoh bentuk ketidakadilan terhadap perempuan yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, tanpa memandang latar belakang, usia, ras, kalangan, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan fenomena sosial yang terus terjadi hingga saat ini, di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Riset yang dilakukan WHO terhadap 81 negara pada tahun 2010, membongkar bahwa kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan telah mencapai tingkat epidemi, dan memengaruhi lebih dari sepertiga perempuan secara global. Studi tersebut juga mengungkap bahwa satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan, baik itu fisik ataupun seksual dalam hidupnya, yang dilakukan oleh orang terdekatnya, baik itu suami, pacar, anggota keluarga, kolega, atasan, ataupun teman.
Hal di atas ditegaskan oleh Ntozake Shange bahwa “every three minutes a woman is beaten, every five minutes a woman is raped, and every ten minutes a lil girl is molested” (setiap tiga menit seorang perempuan dipukuli, setiap lima menit seorang perempuan diperkosa, dan setiap sepuluh menit seorang gadis kecil dianiaya). White House Council pun secara lebih spesifik menyatakan bahwa satu dari lima perempuan telah diserang secara seksual saat masih di perguruan tinggi.
Di Indonesia, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan juga berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebagai gambaran, berdasarkan data catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam postingan twitter @KomnasPerempuan, sepanjang tahun 2010 hingga 2015, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, dengan hasil akhir sepanjang tahun 2015 terdapat sebanyak 321.752 kasus yang tercatat. Delapan dari sembilan orang informan dalam penelitian ini pun mengaku pernah dicekan baik secara verbal maupun fisik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa persoalan kekerasan seksual sudah sangat mendesak dan perlu secepatnya diatasi melalui berbagai cara.
Dalam beberapa kasus, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan ada pula yang justru melimpahkan kesalahan pada perempuan itu sendiri. Seorang informan yang identitasnya dirahasiakan pada wawancara (5 Juli 2018) menyatakan bahwa ia mengalami pelecehan fisik di masa kecilnya, namun ia tidak berani melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua atau keluarganya, karena ia merasa takut dimarahi dan dipuku.
Penyebab hal di atas disebabkan karena di dalam masyarakat ada anggapan bahwa seks adalah dunia laki-laki, dan perempuan adalah obyek seksual dari laki-laki. Laki-laki secara alamiah dianggap punya hasrat seksual yang berkobar-kobar dan sulit dibendung karena hormonnya (ranging hormone,) sehingga perlu selalu disalurkan. Kemudian tubuh perempuan senantiasa dianggap sebagai godaan yang memicu masalah bagi diri perempuan itu sendiri. Maka dari itu, perempuan senantiasa terkekang dan dibatasi kebebasannya. Tubuh perempuan diharuskan tertutup rapat dengan alasan untuk menghindari perhatian kaum laki-laki yang dapat memicu kekerasan fisik dan psikis.
Ketika perempuan menjadi korban kekerasan, yang sering disalahkan adalah cara bertindak dan berpakaian kaum perempuan itu sendiri yang dianggap sebagai pemicu. Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa banyak pula perempuan dengan pakaian tertutup dan bertindak sewajarnya yang tetap dijadikan objek kekerasan seksual. Atas dasar hal tersebut, dapat diketahui bahwa kasus kekerasan seksual terjadi tanpa memandang latar belakang, kalangan, ras, usia, ataupun busana yang dikenakannya.
Perempuan Selalu Dibungkam Pict: freepik.com |
“Banyak kejahatan berkenaan dengan hal-hal semacam ini (kekerasan seksual) masih merupakan rahasia yang ditutup rapat dan jarang diperhatikan oleh polisi atau pengadilan. Bahkan bila dibawa ke hadapan pengadilan, para hakim sering menutup kasus itu sebagai upaya melindungi nama baik korban dan keluarganya. Akibatnya si pelaku tetap aman.”
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sering dianggap sebagai aib bagi keluarga. Martabat keluarga dianggap akan tercoreng ketika ada anggota keluarga perempuannya yang dianggap tidak menjaga keperawanannya. Kemudian seorang laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumah tangga atau calon kepala rumah tangga, serta kaum yang bertugas di wilayah publik dengan jangkauan yang luas, harus dijaga masa depannya dengan cara dihindarkan dari catatan hitam di wilayah hukum. Hal tersebut membuat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tidak ditindaklanjuti dan para pelaku kekerasan seksual tidak mendapat hukuman yang adil, sehingga fenomena tersebut terus terjadi bahkan secara kuantitas terus meningkat.
Salah satu contoh tidak adilnya perlakuan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan misalnya terjadi pada seorang mahasiswi di Universitas Stanford. Dikutip dari femina.co.id, Brock Allen Turner, mantan mahasiswa Universitas Stanford yang terbukti sedang berusaha memerkosa seorang mahasiswi di kampusnya, dikenakan sanksi pidana ringan selama 6 bulan penjara dari total tuntutan 6 tahun penjara, dengan pertimbangan bahwa hukuman penjara akan berdampak buruk bagi masa depan Turner yang merupakan seorang atlet renang kampus. Pada akhirnya, Turner pun diberi keringanan tambahan yakni dibebaskan setelah menjalani hukuman 3 bulan kurungan dari total vonis 6 bulan penjara karena dinilai berperilaku baik.
Kasus Turner di atas membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dimana saja, termasuk di wilayah pendidikan (sekolah dan kampus) yang seharusnya merupakan wilayah yang aman. Hal tersebut sebagaimana dikutip dalam tirto.id berikut ini:
“Sebagai bagian dari civitas academica, mahasiswa merupakan populasi yang paling rentan terhadap pelbagai bentuk eksploitasi struktural di kampus. Pemerintah memiliki undang-undang perlindungan anak yang terbatas untuk ‘seseorang yang belum berusia 18 tahun’ dan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagi pasangan suami-istri heteroseksual. Namun, tidak ada peraturan yang melindungi mahasiswa—yang rata-rata berusia 19-27 tahun—dari kekerasan fisik maupun psikologis di kampus.”
Penderitaan Perempuan Akibat Kekerasan Pict: freepik.com |
Jika lingkungan sosial serta pihak yang berwenang melakukan pembiaran, atau tidak menindak tegas para pelaku kekerasan, maka fenomena kekerasan tidak akan bisa dihentikan, padahal hal tersebut akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di dunia.
Beberapa dampak tersebut di antaranya dampak kesehatan seksual dan reproduksi seperti penyebaran penyakit kelamin atau disebut Penyakit Menular Seksual (PMS) atau Infeksi Menular Seksual (IMS), seperti sifilis (disebut juga penyakit kotor); HIV/AIDS; kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy), kehamilan di luar nikah, aborsi, infertilitas, dan kanker leher rahim. Selain itu, fenomena tersebut juga akan memicu menurunnya kualitas mental masyarakat, seperti terjadinya peningkatan depresi, penggunaan obat-obatan terlarang, bahkan bunuh diri. Maka dari itu berbagai pihak perlu bekerjasama untuk berusaha melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan seksual, termasuk di lingkungan pendidikan.
Sahkan RUUPKS
Dalam menanggapi kasus pelecehan seksual, setiap lembaga pendidikan tidak usah merasa terhina atau dicoreng nama baiknya. Lembaga pendidikan justru jangan menutup mata bahwa lingkungannya sangat rentan terhadap pelecehan seksual. Maka dari itu hal terbaik yang dilakukan adalah melakukan upaya pencegahan. Kemudian, jika terjadi kasus pelecehan seksual, maka harus ditanggapi dengan bijak, dan berpihak pada korban. Dengan demikian, para peserta didik dan masyarakat percaya bahwa lembaga pendidikan selalu mengupayakan menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman, terutama bagi kaum perempuan.
Dan terakhir, yang paling harus segera dilakukan adalah sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual #RUUPKS .
Stop Kekerasa Terhadap Perempuan Pict: vecteezy.com |
Penulis
Bunga Dessri Nur Ghaliyah
0 Komentar