Kalau Bercanda, Harus Sama-Sama Tertawa
Bercanda adalah bagian alami dari pergaulan. Kita bercanda agar suasana jadi lebih ringan, mencairkan ketegangan, atau sekadar mengundang tawa bersama. Tapi di balik tawa itu, pernahkah kita bertanya: Apakah semua orang yang kita candai benar-benar ikut tertawa?
Di lingkungan sekolah, kampus, bahkan di tempat kerja, kita sering menjumpai candaan yang tampak seru dari luar, tetapi sebenarnya menyakiti. Seseorang bisa tertawa sambil menahan rasa tidak nyaman, malu, atau takut. Bisa jadi mereka terpaksa ikut tertawa karena tidak ingin dianggap baper, tidak asyik, atau terlalu serius.
Padahal, candaan yang baik adalah candaan yang membuat semua pihak merasa dihargai. Bukan yang membuat seseorang merasa direndahkan, terpojok, atau bahkan takut. Ketika seseorang menjadi bahan tertawaan karena penampilannya, latar belakang keluarganya, atau kelemahan yang tidak bisa ia ubah, itu bukan lagi candaan. Itu adalah kekerasan emosional yang dibungkus tawa.
Sayangnya, kini banyak candaan justru menjadi tren yang berbahaya. Kita sering melihat video prank yang viral, seperti lempar teman yang ulang tahun ke kolam, tamparan kue ke wajah, atau mengagetkan orang secara ekstrem. Mungkin maksudnya lucu, tetapi risikonya nyata. Ada orang yang tenggelam karena tidak bisa berenang atau panik. Ada yang wajahnya terluka bahkan kehilangan penglihatan karena tertampar kue yang di dalamnya ternyata terdapat penyangga kayu keras. Ada juga yang mengalami trauma jangka panjang karena terus-menerus dijadikan bahan bercanda di depan umum.
Tertawa Bersama, Bukan Tertawa Atas
Coba kita ingat satu momen ketika seseorang bercanda soal tubuh kita, cara bicara kita, atau kondisi keluarga kita, dan orang-orang di sekeliling tertawa. Apakah saat itu kita benar-benar merasa terhibur, atau justru ingin cepat-cepat menghilang dari tempat itu?
Itulah batas tipis yang sering tak disadari antara bercanda dan menyakiti. Bercanda seharusnya tentang kebersamaan, bukan tentang menjadikan seseorang sebagai korban untuk menghibur yang lain.
Bercanda yang sesungguhnya, akan membuat semua pihak merasa ringan, nyaman, aman, dan dihargai. Tapi jika yang satu tertawa, dan yang lain terluka, maka itu bukan lagi candaan, namun merupakan perundungan (bullying).
Penting untuk memahami bahwa tidak semua orang bisa menertawakan dirinya sendiri, terutama jika topik candaannya sensitif. Beberapa orang mungkin tersenyum demi menjaga situasi tetap kondusif, tapi hatinya terluka. Dan tidak semua orang berani bilang “aku nggak suka itu” karena takut dianggap tidak punya selera humor. Dan yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka merasa tidak punya pilihan selain diam dan ikut tertawa.
Sebelum melontarkan candaan, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini akan membuat semua orang merasa senang? Apakah ini akan membuat seseorang merasa direndahkan? Apakah aku akan tetap merasa lucu jika aku yang menjadi target dari candaan ini? Apa kita sedang tertawa bersama, atau sedang tertawa atas orang lain?
Ingatlah, bahwa candaan itu seharusnya tidak menyinggung, tidak menyakiti, tidak menyudutkan, dan tidak mempermalukan. Candaan yang baik adalah yang membuat semua orang merasa menjadi bagian dari tawa itu, bukan korbannya. Ia hadir untuk mempererat hubungan, bukan merusaknya.
Sebenarnya, kita bisa tetap bercanda tanpa harus melukai. Kita bisa tetap lucu tanpa harus mengorbankan harga diri orang lain. Maka mari belajar jadi pribadi yang peka, yang tahu batas antara bercanda dan merundung. Karena kadang, kekerasan tidak selalu datang dengan teriakan, tapi dalam bentuk tawa yang dipaksakan.
Jadi kalau kamu ingin dianggap lucu, pastikan dulu candaanmu tidak mengorbankan perasaan orang lain. Sebab kebiasaan merendahkan orang dengan dalih “cuma bercanda” adalah pintu masuk menuju perundungan yang lebih besar.
Tertawalah bersama, bukan atas penderitaan orang lain.
Penulis: Bunga Dessri Nur Ghaliyah
Ilustrasi: Dibuat dengan bantuan ChatGPT oleh OpenAI, melalui teknologi AI generatif berdasarkan deskripsi penulis.
#bercanda #verbalbullying #bullying
0 Komentar