Agama, Perempuan, dan Normalisasi Kekuasaan atas Tubuh




Dalam banyak masyarakat, agama telah melewati batas-batas spiritualitas pribadi. Ia menjadi sistem nilai kolektif yang tidak hanya menuntun, tetapi juga mengatur, menilai, dan mengontrol. Dalam proses ini, agama tidak hadir sebagai ruang kontemplatif, tetapi sebagai perangkat sosial yang mempertajam hierarki: antara yang dianggap beriman dan yang tidak, antara yang taat dan yang menyimpang. Dan di tengah tatanan ini, perempuan sering kali ditempatkan sebagai objek moral, bukan sebagai subjek spiritual.

Simbol-simbol agama, terutama yang dilekatkan pada tubuh perempuan, mengalami pergeseran makna. Misalnya, kerudung yang secara teologis dapat dimaknai sebagai bentuk penghambaan personal kepada Tuhan, diubah fungsinya menjadi standar sosial: penanda moralitas perempuan yang “baik-baik”. Pilihan untuk belum atau tidak mengenakan kerudung tidak lagi dipahami sebagai bagian dari otonomi spiritual, melainkan disimplifikasi sebagai “kurang beriman” atau “belum layak dihormati”. Dalam masyarakat seperti ini, pakaian menjadi lebih penting dari kepribadian, simbol lebih penting dari substansi.

Tekanan ini diperkuat oleh normalisasi pembandingan sejak usia dini. Anak-anak perempuan sering dikontraskan dengan teman atau saudaranya yang dianggap lebih religius. Praktik ini bukan hanya melukai, tetapi membentuk struktur kekerasan psikologis yang terus berulang. Dibandingkan secara konstan melahirkan inferioritas kolektif, mengikis kepercayaan diri, dan menciptakan generasi yang menilai dirinya berdasarkan standar eksternal yang tak adil.

Masalahnya tidak terletak pada simbol atau agama itu sendiri, melainkan pada relasi kuasa yang dibungkus dalam narasi kesalehan. Ketika agama digunakan untuk mengatur siapa yang layak dihormati, siapa yang layak didengarkan, dan siapa yang harus dibenahi, maka agama telah kehilangan daya emansipatorisnya. Ia tidak lagi menjadi ruang pencarian makna, melainkan alat untuk memastikan kepatuhan sosial.

Perempuan menjadi sasaran utama sistem ini karena tubuh kami diasosiasikan dengan citra kolektif. Ketika perempuan menolak standar ini, kami tidak hanya dianggap menyimpang, tetapi juga mengancam stabilitas moral komunitas. Inilah mengapa keputusan perempuan untuk tidak mengikuti norma berpakaian tertentu, atau menjalani spiritualitas dengan cara yang berbeda, seringkali diserang bukan atas dasar teologi, tetapi karena mengguncang konstruksi sosial yang telah dianggap mapan.

Sayangnya, praktik penanaman agama sejak dini pun lebih sering berwatak otoriter ketimbang dialogis. Anak-anak diajari untuk takut sebelum mereka sempat berpikir. Pertanyaan dianggap pembangkangan. Ragam pemahaman dianggap ancaman. Proses beragama tidak diposisikan sebagai perjalanan yang sadar dan dinamis, tetapi sebagai proyek penyeragaman yang kaku.

Kritik terhadap sistem ini bukanlah penolakan terhadap agama, melainkan panggilan untuk mengembalikannya ke esensinya, sebagai ruang tumbuh, bukan ruang kontrol. Spiritualitas yang sehat tidak dibentuk oleh rasa takut atau malu, melainkan oleh ruang aman untuk bertanya, meragukan, dan menemukan. Hanya dari proses itu iman bisa lahir sebagai kesadaran, bukan sebagai kewajiban kosong.

Masyarakat yang adil tidak menilai manusia dari simbol semata. Ia menghargai proses, pilihan, dan keragaman dalam menjalani keyakinan. Ia tidak mengatur tubuh perempuan atas nama agama, tetapi membebaskannya agar bisa memaknai imannya sendiri.

Mengkritik cara agama dipraktikkan secara sosial adalah upaya merawat substansinya. Sebab ketika agama dijadikan perangkat dominasi dan tekanan, ia berhenti menjadi cahaya. Ia menjelma menjadi bayangan yang menghantui, terutama bagi mereka yang paling sering dibungkam: perempuan.


#PerempuanDanAgama #KebebasanBeragama #PerempuanBerdaya #HakAtasTubuh
#AgamaDanKontrolSosial
#SpiritualitasTanpaTekanan
#BeragamaDenganSadar
#NarasiPerempuan
#KritikSosial #BeraniBersuara

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar