Perkenalkan, namaku Deni, aku adalah seorang guru honorer. Selain itu, untuk menambah penghasilan, sepulang mengajar di sekolah, aku pun menjadi tutor murid-murid SMA di salah satu tempat kursus di kotaku, Cianjur.
Singkat cerita, di tempat kurus itu, aku bertemu dengan Tania, murid yang kemudian menjadi kekasihku. Walau pun usia kami terpaut agak jauh, hal itu tidak menjadi halangan bagi kami untuk saling mencintai.
“Neng, udah selesai kelasnya? Ayo kita pulang,” ajakku pada Tania sambil menyalakan motor lamaku.
“Hehe.. Udah a. Hari ini gak ada tugas, jadi bisa langsung pulang”, jawabnya sambil tersenyum manis seperti biasanya.
Karena sudah malam, setelah les, aku memang selalu mengantar Tania pulang. Sebelum pulang pun aku juga kadang-kadang membantu Tania belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Hubungan kami terus berjalan bertahun-tahun hingga Tania menjadi mahasiswi di salah satu kampus di kota kami. Seperti biasanya, aku masih terus mengantar-jemput Tania dan selalu membimbingnya dalam beberapa mata kuliah yang aku pahami.
Layaknya hubungan lain, bertahun-tahun kami lewati dengan bahagia dan nyaris tanpa pertengkaran. Tania sangat dewasa dan menghargaiku, begitu pun juga aku yang selalu menjaga Tania. Tapi, ada satu hal yang menjadi masalah besar dalam hubungan kami, yaitu… orang tua Tania yang tak kunjung merestui hubungan kami.
Ya... Hal itu memang masuk akal, Tania berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya, orang tuanya pengusaha, sementara aku? hanya orang biasa dengan penghasilan biasa pula. Selain itu, usia kami pun dianggap terlalu jauh untuk menjadi sepasang kekasih.
Terkadang aku putus asa dan ingin menyerah saja, tapi Tania selalu menguatkanku. Ia selalu mengatakan bahwa uang bisa dicari asal terus berusaha, yang terpenting adalah perjuangan yang diiringi kasih sayang.
Ya, modal utamaku adalah rasa cinta pada Tania yang begitu besar, hingga aku rela melakukan apa pun demi dirinya.
***
Hari demi hari kami lewati seperti biasa. Setiap hari pun kami selalu mencari cara untuk meluluhkan hati orang tua Tania agar merestui kami. Aku pun lebih giat bekerja untuk menunjukkan tanggungjawabku sebagai calon kepala rumah tangga kelak. Namun semuanya seolah sia-sia.Tak jarang aku dihina dan dimaki ketika mengantar Tania pulang. Begitu pun dengan Tania, ia berkata bahwa ia sering dimarahi dan dilarang bertemu denganku.
Setelah kuliah selama 4 tahun, akhirnya Tania lulus menjadi sarjana. Keesokan harinya setelah wisuda, Tania meneleponku dengan nada sangat gembira:
“Assalamualaikum a... A, aa hari ini sibuk gak? Barusan mamah sama papah nyuruh aa dateng ke rumah”, ucapnya dengan riang.
“Ke rumah? Tumben! Ada apa neng?”
“A, kayanya mamah sama papah udah mulai nerima kita. Aku kan udah beres kuliah, terus tadi mamah bilang kalau mamah pengen aku bahagia.”
Tak lama kemudian aku menuju rumah Tania.
Bagaikan mimpi di siang bolong, orang tua Tania berkata bahwa mereka merestui kami. Bahkan, ayah Tania bekata bahwa aku akan ditempatkan di salah satu cabang perusahannya, agar aku bisa menafkahi Tania dengan layak.
Hari itu adalah hari bersejarah bagi kami. Aku dan Tania merasa sangat bahagia. “Alhamdulillah terimakasih ya Allah”, tanpa terasa air mataku sampai menetes. Akhirnya doa-doa kami selama ini terkabul.
***
Setelah mendapatkan restu, kami semakin optimis dan terus bermimpi tentang masa depan kami; bagaimana pesta pernikahan kami; bentuk rumah kami; jumlah anak-anak kami kelak, dan lain-lain.
“A, liat deh, bagus ya? Neng nanti mau pake baju gini ah pas kita akad”,
“Aa... aa... Kita kalo bikin rumah, nanti dapurnya gini ya... Biar neng betah masaknya. hehe”,
“A, aa... Lagi apa? Kita ke puncak yuuu... Liat-liat venue buat nikahan”,
Seperti itulah gambaran isi pesan dari Tania setiap harinya. Dari hari ke hari, Tania terlihat semakin bahagia dan bersemangat. Ia sangat sering mengirimkan berbagai refensi foto resepsi pernikahan, foto-foto rumah idaman, bahkan mengirimkan foto-foto bayi mungil yang ia impikan.
***
Suatu ketika, hari-hari kami yang indah, kebahagiaan yang aku rasakan, seketika berubah ketika Tania tiba-tiba menghilang. Hari demi hari... Minggu demi Minggu... Tania sama sekali tidak menghubungiku.
Teleponku tidak diangkat; aku hubungi ia lewat facebook pun tidak dijawab; bahkan ketika aku datang ke rumahnya pun sangat sepi, seperti tidak ada siapa-siapa; bahkan teman-temannya juga berkata bahwa mereka sudah lama tak bertemu atau berkomunikasi dengan Tania.
“Ya Allah, kemana kekasihku? Ya Allah tolonglah aku. Beri aku petunjuk”.
Perasaanku sangat tak karuan. Sedih, hawatir, bingung, semuanya bercampur menjadi satu. Hingga setahun berlalu, aku mendapat telepon dari Kiki salah seorang sahabat Tania.
“Assalamualaikum Kang Deni, ini Kiki”, ucap Kiki melalui telepon.
“Eh... Waalaikumsalam Ki. Apa kabar? Tumben nelepon”.
“Kabar Kiki baik kang. Mmm... Sebelumnya mohon maaf ya kang, saya telepon malam-malam gini. Mmm... Gini kang. Duh gimana ya bilangnya. Kang, saya sebenernya gak enak bilangnya, cuma saya gak tega liat akang kesana-kesini nyariin Tania”.
DEG. Mendengar kata ‘Tania’ hatiku langsung terasa sakit, dadaku sesak sekali.
“Oh ia Ki, gak apa-apa, saya memang masih bangun kok. Gimana ki? Ada apa?”
“Kang, minggu lalu aku gak sengaja ketemu Tania di daerah Cipanas. Katanya dia baru pulang ke Cianjur. Terus.... Mmmm”
“Terus apa Ki?”, perasaanku rasanya semakin tak karuan. Aku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
“Tania bilang dia sudah menikah kang”, ucap Kiki dengan terbata-bata.
Hatiku sangat hancur. Bagaimana mungkin Tania yang selama ini mencintaiku, mininggalkan aku begitu saja? Bahkan tanpa ucapan perpisahan sepatah katapun. Apa arti hubungan yang kami bina lebih dari 5 tahun ini? Apakah Tania merasa aku tak akan bisa membahagiakannya? Bukankah orangtuanya sudah merestui kami?
Pikiranku sangat kalut. Setiap hari aku sangat stress dan sedih. Aku terus bertanya-tanya berbagai hal yang masih belum aku pahami hingga saat ini.
***
Berbulan-bulan setelahnya, aku diundang ke pernikahan salah satu mantan muridku, Putri, yang juga adalah sabahat Tania ketika les. Aku berharap semoga saja di acara itu aku bertemu dengan Tania. Bukan untuk mengajaknya kembali padaku, tapi setidaknya aku ingin mendengar langsung darinya alasan ia meninggalkanku.
Perasaanku sangat tak karuan. Aku masih belum melupakan Tania. Aku menengok ke berbagai arah, memerhatikan para tamu undangan. Mungkin saja di antara mereka aku dapat menemukan Tania.
Benar sana, aku melihat Tania dari kejauhan. Ia berdiri disamping lelaki yang sepertinya adalah suaminya. Aku lihat ia sagat cantik seperti biasanya, bibirnya selalu tersenyum, dan.. perutnya sudah membesar, "Ahh ia sedang hamil", ucapku dalam hati.
Dadaku sangat sesak. Aku menghela nafas dalam-dalam, lalu memberanikan diri untuk mendekati dan menyapanya. Tapi…… ketika kami berhadapan, Tania seperti tak melihatku. Aku yakin Tania tidak pura-pura. Tania seperti tak mengenalku sama sekali.
Kalau Tania memang berpura-pura, seharusnya aku melihat ekspresi terkejut walaupun sedikit, tapi ini sama sekali tidak. Aku pun memastikan kegelisahanku, “Permisi...Tania...”, Lalu ia menoleh, menatapku, kemudian berkata “Hmm maaf, siapa ya? Akang bertanya kepada saya?”. Di situ aku bingung dan semakin stess.
"Mana mungkin Tania tidak mengenaliku sama sekali? Jangan-jangan... Tania kecelakaan terus amnesia seperti di sinetron-sinetron?", pikirku.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku mengunjungi sabahat-sahabat Tania ketika SMA dan kuliah, kesimpulannya mereka berkata bahwa mereka sempat lostcontact dengan Tania, lalu tiba-tiba Tania memberi kabar akan menikah secara privat, dihadiri keluarga saja, dan katanya….. Tania berkata bahwa ia akan menikah dengan Mbap Deni.
“Apa lagi ini? Itukan panggilan sayang Tania kepadaku?”.
Betapa terkejutnya aku, ketika aku bertemu dengan Putri, teman tania yang tempohari menikah. Ia berkata bahwa ketika di pesta pernikahannya, Tania memanggil suaminya dengan namaku. “Aku yakin banget kang, si Tania manggil-manggil suaminya ‘A Deni’ ‘A Deni’ 'Mbap' gitu”, ucap Putri meyakinkanku.
Putri juga bercerita bahwa ia sempat memastikan kejadian hari itu dengan cara menelepon Tania.
“Kang, sumpah deh, selesai resepsi pernikahanku, aku nelepon si Tania, terus dia bilang gini: Alhamdulillah Put aku sekarang lagi hamil. Waktu itu emang sih hubungan aku sempet gak direstuin, tapi pas banget beres wisuda, mama sama papa ngasih restu. Terus aku nikah deh sama A Deni”.
“Astagfirullah Put, beneran?”, tanyaku.
“Sumpah kang, sumpah. Malahan dia bilang katanya A Deni sekarang udah ngelola perusahaan papanya. Makanya aku juga kaget banget pas tau kang Deni malah lagi nyari-nyari si Tania”.
Pikiranku pun kalut, aku bertanya dalam hati “Tania menikah denganku? Hidup bahagia denganku? Lalu mengandung anakku?”, dadaku sesak dan jantungku seperti berhenti sejenak.
***
Setelah pertemuan dengan Tania aku sakit. Seluruh tubuhku rasanya seperti dipukuli. Dari mulai kepala, perut, lengan, hingga kaki, rasanya sakit sekali. Tetapi walau pun begitu, aku tetap menggali informasi tentang dirinya.
Akhirnya, setelah diselidiki dengan berbagai cara dan bantuan dari sahabat-sabatnya, aku pun mengetahui bahwa Tania sama sekali tidak berbohong. Ia memang menikah, mengelola perusahaan, dan menjalani hari-hari dengan seorang laki-laki yang ia lihat sebagai diriku.
Awalnya aku tak percaya. Aku sama sekali tak menyangka. Hingga aku menemui orang tua tania dan mendesak mereka untuk memberikan penjelasan atas penderitaanku.
Betapa terkejutnya, mata orang tua tania melotot, mereka marah dan memaki diriku lalu berkata “IYA, EMANG KENAPA? SALAH? APA HAK KAMU NGATUR-NGATUR KELUARGA SAYA? URUSAN GINI MAH KECIL! GAMPANG! JANGAN MACEM-MACEM KAMU SAMA SAYA! SAYA TAMBAHIN SANTETNYA BARU TAU RASA KAMU!”
“Ya Allah.. Ya Rabb.. Aku tak kuat lagi.. Aku menangis.. Aku sangat marah..”
“Ya Allah.. tega sekali orang tua mengguna-guna anaknya sendiri.”
“Tega sekali menyihir buah hatinya sendiri untuk hidup dalam kepalsuan. Tania melihat laki-laki lain sebagai diriku. Ia hidup bahagia, tapi dalam sebuah ilusi. Ilusi yang ternyata dibuat oleh orang tuanya sendiri.”
Orang tua Tania melakukan guna-guna pada anaknya sendiri karena mereka sebenarnya tidak pernah merestuiku. Mereka membuat Tania melihat laki-laki pilihan mereka sebagai diriku. Dengan begitu, mereka merasa senang karena anaknya menikah dengan laki-laki pilihan mereka tanpa penolakan.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidup Tania selama ini. Bagaimana kondisinya? Bagaimana perasaannya?
Setelah kejadian itu, aku mengalami hal-hal aneh. Perutku sangat sakit, lebih sakit dari sebelumnya. Lalu, aku muntah darah. Dan... ketika aku lihat di dalam darah yang aku muntahkan terlihat ada gumpalan keras yang ternyata adalah tiga buah paku. Ya paku. “Mana mungkin ada paku dari perutku? Tapi aku tak salah lihat".
Dari kejadian itu, aku pun setiap hari merasa kesakitan. Tubuhku seperti diremas. Saking sakitnya, aku tak malu lagi untuk berteriak kencang hingga membuat ibuku sangat hawatir.
Lebih jauh lagi, aku seperti orang gila. Setiap malam aku lihat ada mahluk mengerikan yang masuk ke kamarku. Mahluk itu menembus tembok kamarku. Badannya besar, seluruh tubuhnya hitam berbulu, bertaring tajam, dan matanya melotot. Ia mendekatiku sambil menatap tajam seakan ingin menerkam dan memakanku.
Mahluk itu semakin mendekat, ia seakan-akan ingin masuk ke dalam tubuhku. Jari-jarinya sangat besar lebih besar dari kepalaku. Kepalaku kemudian dicengkram oleh jari-jarinya yang kasar itu. Lalu ia menghilang ketika ibuku datang ke kamarku.
Ketika mahluk itu sudah menghilang, badanku lemas. Aku berbaring ditemani ibuku, lalu tidur.
Ketika tertidur aku bermimpi Tania mendatangiku sambil menangis. Matanya sembab, wajahnya pucat. Tania meminta pertolongan dariku. Jiwanya sedang terpenjara. Terjerat kebohongan orang tua dan suaminya sendiri. Tapi yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa, dan hingga saat ini aku terus meminta petunjuk dari ustadz guruku untuk terus mempelajari ilmu agama untuk menyembuhkan fisik dan batinku, juga agar bisa terus tegar dan membantu Tania suatu hari.
*Diambil dari kisah nyata
Thumbnail Pict: Kompas TV
0 Komentar