Keroncong dalam Tembang Sunda Cianjuran, Salahkah?



Kemajuan teknologi seringkali menjadi kambing hitam atas mundurnya minat masyarakat terutama generasi muda, terhadap kesenian tradisional. Globalisasi sering dianggap sebagai ancaman, padahal tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu ancaman yang nyata justru adalah para seniman dalam kesenian itu sendiri.

Para seniman sepakat bahwa kesenian tradisi harus selalu dijaga untuk mempertahankan eksistensinya. Pertanyaannya, bagaimana cara menjaganya? Apakah menjaga berarti membuat kesenian bersifat statis? Atau justru membiarkan dan mendorong generasi muda berkreasi?

Egi Redika, sebagai salah satu generasi muda dalam karawitan Sunda, menyajikan Tembang Sunda Cianjuran Keroncong dalam Tugas Akhirnya di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, pada 20 April 2018. Sajian berjudul Pasieup Adu Manis ini ternyata menarik rasa penasaran berbagai kalangan sehingga pada saat sajian berlangsung, G.K. Sunan Ambu sebagai tempat resital, sesak dipenuhi para apresiator.

Sebelum, saat, bahkan setelah berakhirnya resital Tugas Akhir Jurusan Karawitan Gelombang 1 tahun 2018 tersebut, ternyata karya yang dibimbing oleh Dr. R. M. Yusuf Wiradiredja S.Kar, M.Hum dan Asep Nugraha, M.Sn ini menimbulkan pro kontra di antara para apresiatornya, yang sebagian besar berkecimpung dalam dunia karawitan Sunda.


Sebagian apresiator setuju dengan langkah Egi, dengan harapan jika sajian yang dianggap lebih segar ini akan meningkatkan minat generasi muda terhadap Tembang Sunda Cianjuran (TSC) dan seni tradisional pada umumnya. Sedangkan bagi pihak lainnya, sajian ini dianggap “merusak” TSC. Alih-alih menampilkan kesenian tersebut secara konvensional, Egi justru mengkolaborasikannya dengan musik keroncong yang dianggap kesenian “luar”.

Jika ditelusuri lebih lanjut, faktanya sejak tahun 1920-an, TSC sudah dikolaborasikan dengan musik Barat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya lagu-lagu panambih [1] yang tak hanya diiringi kacapi indung, rincik dan suling, namun juga diiringi oleh alat musik Barat seperti cello, mandolin, gitar, dan biola.

Endah Irawan (2004) dalam penelitiannya “Deskripsi Seni Pertunjukan Jawa Barat” lebih spesifik menyebutkan bahwa di tahun 1920-an, terdapat grup kesenian yang mengkolaborasikan TSC dengan alat musik barat bernama “Orkes Degung” yang diprakarsai oleh Ki Endu Afandi, Ki Tisna, dan Ki Dado.

Sejak saat itu lah, TSC terus berkembang hingga pada tahun 1980. Ketua Padepokan Pancaniti di Cianjur, Herman beserta Burhan (Bah Ohan) menggagas konsep kolaboratif antara TSC dengan keroncong yang kemudian direalisasikan oleh Kondin dan Dadan. Keduanya kemudian mulai menggarap sajian TSC yang terdiri atas Kacapi Indung, Kacapi Rincik, dan Suling, dengan keroncong yang terdiri atas Cello, Kontra Bass, Ukulele (Cak), Ukulele (Cuk), dan Biola.

Sajian kolaboratif tersebut memiliki keunikan, karena selain menggabungkan dua genre musik juga menyatukan dua jenis tangga nada yakni pentatonis Sunda (daminatila) dan diatonis Barat dengan tetap menciptakan harmoni. TSC Keroncong kemudian diproduksi dalam bentuk album untuk pertama kalinya dengan judul Ujung Lautan, pada tahun 1987 oleh studio Jugala ini dengan berisikan 8 lagu panambih laras pelog dan sorog.

Pada saat itu, kehadiran kelompok “Ujung Lautan”, khususnya di Cianjur menuai pandangan positif dan sangat diterima. Namun sangat disayangkan, kelompok tersebut hanya eksis hingga tahun 1996 (terakhir pertunjukan di Taman Budaya Bandung).

Sejak saat itu, TSC Keroncong bisa dikatakan mati suri karena para pemainnya sudah berusia lanjut (sebagian sudah meninggal) dan belum ada generasi yang meneruskan semangat juang mereka. Berangkat dari hal tersebut, Egi terinspirasi untuk mengangkat kembali karya Tembang Sunda Keroncong dalam resital Tugas Akhirnya di ISBI Bandung.

Dilahirkan dan dididik dalam keluarga seniman, Egi Redika seringkali mendapat ilmu pengetahuan dari ayahnya, Iwan Mulyana yang juga merupakan seniman TSC. “Ayah saya selalu mendorong saya untuk selalu kreatif dan inovatif. Bahkan, ayah saja juga yang memberi informasi awal bahwa pada tahun 70-an ada grup yang mengkolaborasikan TSC dengan keroncong. Sejak saat itulah, saya menelusuri karya unik tersebut, bukan hanya di tataran seniman di Bandung, melainkan juga ke seniman-seniman Cianjur (tokoh, pelaku, saksi hidup), mempelajari berbagai literatur, mempelajari album rekaman Ujung Lautan yang saya dapat dari Pak Yusdiana, salah seorang pemain kacapi di Bandung, dan melakukan uji coba menyajikan karya ini di tengah masyarakat”, tuturnya.

Dalam resitalnya, Egi mengadopsi konsep album “Ujung Lautan” dan melakukan pengembangan sebagai bentuk kreativitasnya. Tak seperti album “Ujung Lautan” yang hanya menyajikan wanda panambih, Egi dan para pendukungnya, juga menyajikan mamaos[2], sehingga dalam satu sajian terdapat 5 wanda[3] yakni papantunan[4], jejemplangan[5], dedegungan[6], rarancagan[7] dan panambih, dalam 3 laras[8], yakni pelog, sorog, dan mandalungan.

Melalui karya ini, ia ingin menyampaikan pesan kepada para generasi muda dan masyarakat umum, bahwa suatu kesenian harus dinamis, ia harus terus berkembang, termasuk dalam TSC yang juga bisa dikembangkan selama tidak merusak etika dan estetikanya. Dengan adanya karya ini, pria yang juga menyukai olahraga bersepeda ini berharap bisa memotivasi, khususnya mahasiswa kesenian, untuk berani melakukan inovasi dalam berkarya.

Penulis: Bunga Dessri Nur Ghaliyah (2018)
Telah diterbitkan sebelumnya pada 28 Mei 2018.

[1] Salah satu jenis wanda dalam TSC, [2] sebuah jenis kesenian membaca/melantunkan pantu, [3] kata yang artinya sama dengan “jenis”, yang digunakan dalam TSC, [3],[4], [5], [6], [7] adalah macam-macam jenis atau bentuk yang menjadi penyusun TSC, [8] tangga nada dalam musik tradisi Sunda/Jawa, di Sunda dikenal diantaranya; Sorog(madenda), Pelog, Salendro, Mandalungan(mataraman).

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar