Abah Ropih dan Upaya Membangun Kehidupan Seni


Abah Ropih, Pelukis Beserta Karyanya
Dok: Bunga Dessri (2018)

Jika berkunjung ke kota Bandung, kurang lengkap rasanya jika tidak menginjakkan kaki di Jalan Braga yang merupakan salah satu ikon atau cirikhas kota ini. Pada pertengahan tahun 1920-an, Jalan Braga merupakan pusat belanja elite Eropa, dan hingga saat ini, suasana tempo dulu masih melekat di sepanjang kawasan ini. Rasanya jalan Braga juga semakin memikat karena di sana merupakan tempat berkumpulnya para seniman, khususnya perupa.

Rumah Seni Ropih, Braga
Dok: RSR via flickr (2012)

Ketika berkeliling, ada salah satu galeri bergaya art deco yang menarik perhatian saya, “Rumah Seni Ropih”, tepatnya di Jalan Braga nomor 43. “Ropih”, nama tersebut tidak asing dalam benak saya. Seiring dengan rasa penasaran saya, siapa sangka, ketika hendak berkunjung, saya langsung disambut hangat oleh sang empunya “Abah Ropih”.

Ropih Amantubillah, atau akrab disapa Abah Ropih, merupakan salah satu seniman hebat asal Bandung. Karyanya melanglangbuana hingga mancanegara, dan dihargai bukan hanya karena teknik serta gaya melukisnya saja yang unik, melainkan juga karena kedalaman makna yang Abah Ropih terapkan dalam setiap goresannya.

Dibesarkan oleh keluarga seniman, membuat ia terbiasa untuk lebih peka terhadap segala hal di sekelilingnya. Abah bercerita, bahwa pengalaman hidupnya sejak kecil, terutama sejak ia aktif melukis pada usia tujuh tahun, banyak menginspirasinya dalam berkarya.

Salah satunya, ketika masih kanak-kanak, abah melihat benteng yang berkali-kali roboh walaupun sudah diperbaiki, dan ketika dibongkar ternyata di dalamnya ada tunas pohon pisang. Lalu kemudian ayahnya, Mumu Mitra, memberi penjelasan pada Ropih kecil, bahwa pohon pisang sangat luar biasa. Ketika ia tumbuh dan berbuah, seluruh bagian tubuhnya bermanfaat, dan ketika ditebang, maka ia telah menyiapkan tunas-tunas baru untuk kehidupan selanjutnya.

Dengan memaknai hal tersebut, pria lulusan S2 ini, mengatakan bahwa manusia pun jangan kalah oleh pohon pisang. Kita sebagai manusia harus hidup bermanfaat, dan jangan lupa untuk menyiapkan tunas-tunas baru agar kebudayaan kita tetap terjaga. Bagaimana Abah Ropih memaknai hidup, dapat diketahui dari karyanya.

Beruntungnya, Abah menunjukkan beberapa karyanya yang berjudul “Mencapai Puncak Zaman Keemasan” kepada saya. Ketika diamati, seluruh lukisan yang bergaya abstrak modern tersebut mengerucut ke atas dan dominan menggunakan warna emas (gold).

Dominasi warna emas melambangkan keinginan dan doa Abah Ropih untuk mencapai masa emas atau kesuksesan, serta melambangkan perjalanan spiritualnya menuju sang Khalik. Adapun lukisan lainnya, misalnya lukisan berbentuk bunga, bermakna bahwa manusia harus “harum”, minimal di mata anak-anak dan pasangan. Serta lukisan ayam yang bermakna kedisiplinan dan kontinyuitas.

“Mencapai Puncak Zaman Keemasan” karya Abah Ropih
Dok: Bunga Dessri (2018)

“Sukses itu memang tidak mudah, Abah juga merintis dari bawah, pernah juga menjajakan lukisan di pinggir-pinggir jalan. Namun dengan kesabaran, Abah bisa jadi seperti ini. Jangan salah tafsir, sabar bukan berarti hanya berdiam diri, sabar adalah terus melangkah ke depan menghadapi berbagai tantangan”, tuturnya dengan suara nada memotivasi namun tetap lemah lembut.

Dengan pemikiran tersebut, Abah mengajak masyarakat, khsusnya para seniman untuk terus berusaha, giat, disiplin, dan sabar, agar mencapai kesuksesan dan memiliki nama yang harum, dikenang sepanjang masa karena hidup memberi manfaat.

Atas dasar perhatiannya terhadap para seniman dan kebudayan, pria kelahiran 12 Februari 1959 ini pun mendirikan “Rumah Seni Ropih” sejak tahun 2010. Di tanah seluas 1.000 meter persegi ini, Abah Ropih tak hanya fokus menaungi bursa lukisan dan proses belajar para pelukis.

Latihan Kesenian Sunda "Cianjuran" di Rumah Seni Ropih
Dok: Bunga Dessri (2018)

“Rumah Seni Ropih” juga berperan aktif dalam upaya pendokumentasian dan riset, pengenalan (workshop, pameran, pagelaran, diskusi), pelestarian (membuat latihan rutin), pengembangan (penggarapan karya baru), serta pewarisan berbagai jenis seni (mendatangkan seniman senior untuk mewariskan ilmunya pada generasi muda), dari mulai seni musik tradisional (karawitan), tari, fotografi, hingga bela diri.

Pada prosesnya, abah di bantu oleh peran aktif seluruh keluarga, istri, dan anak-anaknya, serta berbagai komunitas seni , mahasiswa, dan masyarakat di Kota Bandung. “Rumah Seni Ropih terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar”, pungkasnya.

Penulis: Bunga Dessri Nur Ghaliyah (2018)
Telah diterbitkan sebelumnya pada: 19 Mei 2018




Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar