Perempuan Dalam Kesenian Sunda



Awewe mah entong sakola. Asal bisa nutu-ngedjo, bisa kekerod, bisa ngawoelaan salaki, geus leuwih ti tjoekoep gandjaranana oge mandjing sawarga...”

 

Saat ini di Indonesia, khususnya Sunda, budaya patriarki masih terasa di dalam berbagai sektor dari mulai sosial, pendidikan, ekonomi, politik, hingga kesenian. Budaya patriarki tersebut terbentuk melalui perjalanan yang sangat panjang dan dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya yakni adanya kesalahan definitif antara seks dan gender. Seks yang merupakan kodrat yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis, dianggap sebagai alasan untuk membedakan laki-laki dan perempuan secara sosio-kultural seperti dua sisi mata uang yang berlawanan.

Perempuan yang secara biologis dapat hamil, melahirkan, dan menyusui, kemudian dianggap hanya berhak untuk berada di wilayah domestik, seperti mengurusi kepentingan rumah tangga dan membesarkan anak-anaknya, sebaliknya, laki-laki dikonstruksi sebagai mahluk yang kuat dan berhak berada di wilayah pubik. Dengan demikian, terciptalah konstruksi yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang lebih tinggi dan dominan daripada perempuan. 

Dibatasinya peran dan kedudukan perempuan tersebut, misalnya tercermin dari pernyataan Bupati Bandung tahun 1893-1918, R.A.A. Martanagara yang mengatakan, “Awewe mah entong sakola. Asal bisa nutu-ngedjo, bisa kekerod, bisa ngawoelaan salaki, geus leuwih ti tjoekoep gandjaranana oge mandjing sawarga...” artinya “Perempuan itu tidak perlu sekolah. Asal bisa menanak nasi, menjahit, mengabdi kepada suami, sudah lebih dari cukup, pahalanya surga...”.

 

Peliyanan Perempuan Dalam Kesenian Sunda

Penari Doger Kontrak
Dok: Dikdik Venol/ Kacapaesan

Salah satu elemen budaya Sunda, yang masih kental dengan budaya patriarki adalah seni musik tradisional (karawitan). Hingga saat ini, karawitan Sunda masih dapat dikatakan tidak ramah terhadap perempuan. Dalam hal ini, perempuan seringkali menjadi sang-liyan atau kaum nomor dua. Hal tersebut dapat diidentifikasi melalui berbagai jenis kesenian dalam karawitan Sunda, misalnya Tembang Sunda Cianjuran (Cianjuran), Bajidoran, Ketuk Tilu, dan sebagainya.

Beberapa contoh pe-liyan-an terhadap perempuan dalam Karawitan Sunda misalnya, hingga awal abad ke-20, perempuan tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam kesenian Cianjuran. Sebaliknya, dalam Bajidoran, Ketuk Tilu dan sebagainya, perempuan merupakan tokoh sentral yang ditempatkan sebagai pesinden (penyanyi) dan/ atau penari, namun bukan berarti perempuan dihargai, dalam hal ini perempuan senantiasa berada dibawah kekuasaan penonton laki-laki. Tubuhnya dijadikan objek pemuas hasrat dan dirinya sering dipandang sebagai perempuan ‘nakal’.


Kesenian Ketuk Tilu
Dok: Dikdik Venol/ Kacapaesan

Selain itu, hingga saat ini, perempuan Sunda masih belum memiliki 'kebebasan' sepenuhnya dalam menentukan langkah dan mengembangkan potensinya, misalnya adanya batasan untuk berprofesi sebagai pamirig/ nayaga (pemain alat musik) karena hal tersebut dianggap sebagai pekerjaan yang dikhususkan untuk laki-laki. 

Kemudian, walaupun saat ini sudah lebih banyak perempuan yang terlibat dalam kesenian, khususnya menjadi pamirig atau nayaga, namun kesan laki-laki sebagai kaum yang lebih unggul tetap terasa, dan perempuan seringkali tidak dihargai kemampuannya, karena dianggap hanya menjual keunikan ataupun kecantikan.

 

Perempuan Dalam Kepercayaan Masyarakat Sunda Lama

Kenyataan bahwa perempuan Sunda yang ditempatkan sebagai sang-liyan (mahluk nomor dua), ternyata bertolak belakang dengan pandangan dan kepercayaan masyarakat Sunda lama yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang penting, terhormat, bahkan disakralkan. 


Tari Wayang - Srikandi dan Mustakaweni
Dok: Dikdik Venol/ Kacapaesan

Ayat Rohaedi dalam Jakob Sumardjo (2013: 611) menyatakan bahwa dalam masyarakat Sunda, baik yang tradisional maupun masyarakat masa silam, perempuan memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting. Bahkan kadang kala terkesan bahwa kedudukan perempuan itu demikian penting, sedangkan tokoh laki-laki muncul sebagai ‘pelengkap’ untuk mendukung kehormatan dan kemuliaan perempuan.

Salah satu contoh pandangan masayrakat Sunda lama terhadap perempuan misalnya tokoh Sunan Ambu dalam mitologi Sunda, yang digambarkan sebagai penguasa Dunia Atas. Hal tersebut pun dibahas dalam Pantun Panggung Karaton[1] dalam Soemardjo (2013: 612), yang menggambarkan perempuan sebagai penguasa Dunia Atas yaitu langit, sedangkan laki-laki adalah penguasa tanah. Langit itu basah, asal hujan, asal dari semua yang hidup, sedangkan tanah itu kering, kaku, dan keras.

Saini KM dalam Dinda Satya (2011) pun menyatakan bahwa dari asal katanya saja, perempuan digambarkan sebagai sosok yang penting. Kara “per-empu-an” berasal dari kata“empu” yang merujuk pada perempuan sebagai sosok yang memiliki keahlian dalam berbagai hal. 

Dalam ungkapan-ungkapan yang biasa diucapkan pun, orang Sunda senantiasa mendahulukan perempuan, misalnya ungkapan ‘Indung-Bapa’ (Ibu-Bapak), bukan ‘Bapa-Indung’ (Bapak-Ibu). Orang Sunda juga mengenal ungkapan dengan simbol perempuan atau ‘indung’, misalnya “ngindung ka waktu” (menganggap ibu pada waktu), atau “indung tunggul rahayu” (ibu adalah akar dari kemuliaan).

Lantas, apakah perempuan Sunda benar-benar sosok liyan? Jika ya, mengapa sebelum tahun 1900-an, ditemukan beberapa dukumentasi yang memotret perempuan sebagai sosok yang aktif, termasuk dalam kesenian? Lalu sejak kapan perempuan dikonstruksi menjadi sosok nomor dua?


Memainkan Gambang Kayu (Perempuan) dan Rebab (Laki-laki)
Sumber: KITLV 155772 Dok 10 october 1862

Dari fenomena di atas, kemudian timbul pertanyaan lainnya; Mengapa terdapat perbedaan antara konsep dan fenomena di masyarakat tentang memperlakukan perempuan?; Bagaimana sesungguhnya peran dan posisi perempuan dalam karawitan Sunda?; Bagaimana cara menanggulangi pe-liyan-an terhadap perempuan yang hingga saat ini masih langgeng dalam karawitan Sunda?

Untuk membongkar dan turut membantu menyelesaikan permasalahan hal tersebut, diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan spesifik untuk memberi pengetahuan dan pencerahan khususnya kepada masyarakat dan seniman Sunda, sehingga di masa yang akan datang akan tercipta dunia karawitan yang lebih lebih terbuka, toleran, dan dinamis.

 

Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah 


Thumbnail Pict: POHACI


Daftar Pustaka


Dinda Satya. 2011. “Problematika Simbol dan Gender dalam Notasi Daminatila (Sebuah Alternatif Kajian Berdasarkan Konsep Budaya)”. Bandung: ISBI Bandung.

 

Jakob Soemardjo. 2013. Simbol-simbol Pantun Sunda Bandung: Kelir.



[1] Pantun Panggung Karaton merupakan salah satu jenis Pantun Sunda, yakni karya cipta masyarakat Sunda lama yang merepresentasikan nilai-nilai kehidupannya.




Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Termasuk halnya dalang wayang golek Sunda sampai sekarang apakah belum ada dalang perempuan yang sampai pada pementasan? Seni Karawitan di sana apakah hanya berpeluang kecil untuk para perempuan yang ingin mengekspresikan dirinya dalam berkesenian, misalnya membentuk grup Karawitan Putri? Nuhun. 🙏

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)