Merdeka Melalui Pendidikan Karakter Ala Ki Hadjar Dewantara

 

Merdeka Melalui Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantara


Pendidikan adalah obat dari ‘penyakit’ yang diakibatkan penjajahan, dan merupakan pintu menuju kebangkitan.

Mengenal Lebih Dekat Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Hadjar Dewantara, merupakan seorang aktivis dalam berbagai gerakan sosial dan politik demi kemerdekaan Indonesia (1889-1959). Di awal perjalanannya, pria kelahiran Yogyakarta, 2 Mei 1889 ini mengabdi sebagai wartawan yang aktif menyuarakan aspirasi, protes, serta kritiknya kepada pemerintah kolonial Belanda. 

Melalui tulisan-tulisannya yang tajam namun tetap komunikatif, ia mampu membangkitkan semangat antikolonialisme para pembacanya. Selain itu, putra dari GPH Haryo Soerjaningrat ini pun aktif berorganisasi, di antaranya menjadi seksi propaganda dalam Boedi Oetomo (1908), hingga mendirikan partai pertama beraliran nasionalisme Indonesia pada tanggal 25 Desember 1912, bernama Indische Partij.

Menceritakan sepak terjang menteri pendidikan pertama Indonesia ini, rasanya tidak akan ada habisnya. Singkatnya, perjuangan dan pemikiran Soewardi, mampu membuat pemerintah kolonial geram. Ia dianggap membahayakan sistem jajahan sehingga berkali-kali diasingkan. Namun, bukan Soewardi namanya, jika tidak cerdik dan mampu memanfaatkan situasi serta kondisi, sekalipun itu tengah berada di tanah pengasingan.

Ketika dibuang ke Belanda selama enam tahun, bukannya terpuruk, sosok yang dikenal pemberani ini, justru mempelajari sistem pendidikan dan pengajaran di sana, bahkan hingga mendapatkan Europeesche Akte[1]. Dari situlah, ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1919, Soewardi mengubah haluan, dari yang asalnya melakukan gerakan perlawanan melalui politik, kali ini ia berjuang melalui jalur pendidikan. 

Soewardi meyakini bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Ia juga meyakini bahwa pendidikan adalah obat dari ‘penyakit’ yang diakibatkan penjajahan, dan merupakan pintu menuju kebangkitan. Atas dasar hal tersebut, penggemar wayang ini menciptakan sistem pendidikan karakter, dan pada tanggal 3 Juli 1992 mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa, sekaligus secara resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.

 

Guru, Sang Kunci Pendidikan Karakter

Mendengar nama Ki Hadjar Dewantara, banyak orang yang akan langsung teringat pada slogan “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani”. Ajaran pendidikan tersebut tidak asing bagi masyarakat Indonesia, namun tidak banyak yang memahami makna di baliknya, padahal sebagaimana yang ditegaskan Haryanto (2011:12) bahwa tiga ajaran pendidikan tersebut merupakan wasiat yang sangat penting bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Pada dasarnya slogan di atas bisa diterapkan oleh siapa saja, namun dalam hal ini, elemen terpenting yang harus menerapkan hal tersebut adalah seorang pendidik atau guru, karena sosok tersebut merupakan penentu keberhasilan penerapan pendidikan karakter. Berikut ini merupakan nilai dan makna tiga ajaran pendidikan karakter yang harus diterapkan oleh para pendidik:

Pertama, “Ing ngarsa sung tuladha” berasal dari kata ‘ing ngarsa’ yang artinya orang yang lebih berpengetahuan, dan ‘tuladha’ yakni memberi contoh, sehingga secara keseluruhan berarti pendidik sebagai orang yang lebih berpengetahuan, harus mampu menjadi contoh yang baik bagi siswa. Hal tersebut berkaitan dengan profesionalisme seorang guru yang dikemukakan oleh Novin dan Tucher dalam Dzulkifli (2014:89) bahwa guru profesional harus menguasai dan melaksanakan tiga hal, yakni pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan karakter (character).

Dzulkifli (2014:90) mengemukakan bahwa guru merupakan profesi yang memerlukan keahlian khusus, karena tugasnya sangat berat. Guru bukan hanya bertugas menjejalkan pelajaran, namun juga harus mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, mengevalusi, dan menghidupkan pengetahuan tentang berbagai hal yang akan menjadi bekal hidup para muridnya. Maka dari itu, seorang guru harus menunjukkan sikap dan sifat yang baik karena pada dasarnya para murid akan meneladani para gurunya.

Kedua, “ing madya mangun karsa” berasal dari kata ‘ing madya’ yang berarti di tengah-tengah (harmonis/terbuka), dan ‘mangun karsa’ yang artinya membina minat, sehingga secara keseluruhan berarti pendidik harus berpikiran terbuka, semangat dan mampu mengarahkan serta membangkitkan minat para siswa agar dapat berguna bagi masyarakat. 

Dalam hal ini guru harus terbuka pada perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pasti akan berpengaruh terhadap mental dan pola pikir para muridnya. Guru harus menyadari bahwa tugasnya bukan memaksa murid untuk duduk, mendengarkan, mencatat, dan menghafal, namun guru harus berinovasi dan mampu menggugah semangat, kemauan, niat, dan motivasi para siswanya untuk terus berkarya dan memecahkan berbagai permasalahan.

Ketiga, “tutwuri handayani”, berasal dari kata ‘tutwuri’ yang berarti mengikuti dari belakang dan tidak sewenang-wenang, dan handayani adalah menjunjung tinggi kebebasan, sehingga secara keseluruhan berarti pendidik harus menjunjung tinggi kebebasan dan hanya bertugas memperhatikan dan mengarahkan. Ki Hadjar menjelaskan bahwa tugas guru adalah memanusiakan manusia. Guru tidak menempatkan diri sebagai subjek dan murid sebagai objek. 

Posisi guru berada di belakang untuk mendorong minat, bakat, dan karakter anak didiknya, bukan berdiri di depan dan mendikte yang kemudian menyeragamkan dan membunuh karakter anak didik. Anak Indonesia harus hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, sementara pendidik hanya bertugas merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein “Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid”.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kunci keberhasilan pendidikan terletak pada guru atau pendidik. Pendidik jangan hanya fokus pada peningkatan IQ (Intellegence Quetion), namun juga harus menyeimbangkannya dengan EQ (Emotional Quetion) dan SQ (Spiritual Quetion). Aristotle pernah berujar “Educating the mind without educating the heart is no education at all”. Hal tersebut berarti, pendidik bukan hanya melakukan transformasi pengetahuan, namun justru yang lebih penting adalah transformasi nilai.

Ki Hadjar dalam MLPT yang ditulis oleh Haryanto (2011:5) menjelaskan bahwa mengasah kecerdasan budi sangat penting, karena dapat membangun budipekerti yang baik dan kokoh, sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika hal tersebut terwujud, anak Indonesia akan mampu mengendalikan hawa nafsu dan menjadi pahlawan yang akan menyelamatkan masa depan bangsa. Kemudian, bangsa Indonesia pun akan menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat atas dirinya, bukan hanya fisik, namun juga pikirannya.

 

Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah 

Thumbnail Pict: Tribunnews.com


Daftar Pustaka

Haryanto. 2011. “Pendidikan Karakter Menurut Ki Hadjar Dewantara”. Yogyakarta: UNY.

Dzulkifli dan Inda Puspita Sari. 2014. “Karakteristik Guru Ideal”. Surabaya: Universitas Airlangga.



[1] Euripeesche Akte adalah ijazah pendidikan yang bergengsi di Belanda.

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar