Ngalaksa: Jembatan Menuju Dunia Atas

Ngalaksa 

Malam semakin larut. Para penari bergerak melingkar. Aroma asap kemenyan membumbung, jentreng dan tarawangsa bertaut mesra, merasuk, membuat kami semakin hanyut, hilang kesadaran, tenggelam dalam kesyahduan upacara Ngalaksa.


Ngalaksa, Laksa dan Rasa Syukur

“Ngukus ngawulu muja ngalaksa”, bersyukur dan melaksanakan semua kewajiban sebagai manusia. Itulah peribahasa yang masih dipercaya dan dipelihara masyarakat Rancakalong hingga saat ini yang diwujudkan dalam sebuah upacara bernama Ngalaksa.

Ngalaksa berasal dari kata ‘laksa’ yang memiliki beberapa arti dan makna. Pertama, laksa berarti olahan makanan yang terbuat dari tepung beras, dibungkus dengan daun congkok kemudian direbus hingga matang. Laksa jauh lebih awet jika dibandingkan dengan nasi biasa, sehingga dapat bertahan selama prosesi Ngalaksa yang dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam, sekaligus menjadi simbol persiapan bekal untuk masa tanam berikutnya.

Kata ‘laksa’ kemudian diberi awalan ‘nga’ dalam bahasa Sunda berarti menjadi kata kerja yaitu membuat laksa. Pembuatan laksa berkaitan dengan salah satu tujuan awal diselenggarakannya upacara Ngalaksa yakni untuk membantu dan menghentikan kelaparan yang sempat dirasakan oleh masyarakat Rancakalong pada zaman dahulu di masa werit atau paceklik yang berlangsung selama hampir empat tahun.

Selain itu, laksa pun dimaknai sebagai sebuah singkatan dari peribahasa laksana tina pamaksadan yang artinya berhasil menggapai tujuan yaitu memiliki tanah yang subur dan menghasilkan panen padi yang melimpah. Dalam makna lain, laksa artinya bilangan 10.000.

Dalam bahasa Sunda ada idiom yang berbunyi “laksa keti kabingahan” yang bermakna “kegembiraan yang sangat besar dan tiada bandingannya” seperti besarnya angka 10.000. Sehingga, Ngalaksa juga dapat diartikan sebagai gambaran besarnya rasa syukur dan bahagia yang dirasakan masyarakat Rancakalong atas keberkahan yang didapat.


Ngalaksa: Ruh dan Identitas Masyarakat Rancakalong

Saat ini Ngalaksa dilaksanakan secara rutin setahun sekali setiap bulan Juli, dan dipusatkan di sebuah tempat yang disebut desa wisata Rancakalong. Pemusatan lokasi upacara ini bertujuan untuk mempermudah masyarakat pelaksana Ngalaksa, masyarakat Rancakalong dari desa lainnya, termasuk masyarakat dari daerah lain, wisatawan, atau pun para peneliti yang hendak ikut menyaksikan dan berbaur dalam rangkaian upacara.

Upacara Ngalaksa dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti, kecuali ketika lima waktu sembahyang dan istirahat. Bagi masyarakat Rancakalong, padi adalah sari pati dan sumber kehidupan. Dalam falsafah masyarakat Rancakalong, rasa syukur kepada Tuhan serta penghormatan terhadap alam dan Dewi Padi atau yang akrab disapa Nyi Pohaci atau Dewi Sri menempati kedudukan tinggi. Sehingga, dari tahap ke tahap, dari hari ke hari, seluruh prosesi upacara dilakukan dengan khidmat yang diselimuti rasa syukur dan bahagia.

Asyari (2016) mengungkapkan bahwa kisah tentang Nyi Pohaci memberikan arti yang sangat mendalam bagi orang Sunda. Tanaman lahir dari tubuh perempuan, perempuan yang berasal dari dunia bawah lalu dibawa ke dunia atas dan di turunkan di dunia tengah (dunia manusia) untuk memberi kehidupan pada manusia.

Nyi Pohaci tidak hanya dijadikan sebagai simbol ketulusan sang pemilik dunia atas terhadap perempuan dan terhadap manusia (dunia tengah), tetapi juga simbol kelestarian alam dan kehidupan berasal. Atas dasar hal tersebut, masyarakat Rancakalong melakukan syukuran kepada Tuhan serta pemuliaan terhadap sang dewi kesuburan yang diwujudkan ke dalam upacara Ngalaksa.

Dalam upacara Ngalaksa, terdapat pula unsur tarian yang sederhana dengan pola lantai dominan melingkar. Hal tersebut merupakan gambaran axismundi atau poros bumi sebagai pusat kekuatan untuk menghubungkan diri dengan dunia atas.

Menurut Cahya Hedy (1999), tari-tarian Indonesia cenderung akrab dengan tanah atau kegiatan bercocok tanam. Hal tersebut disimbolkan oleh gerakan-gerakan yang cenderung mendekati tanah, seperti gerakan duduk, berlutut, membongkok, dan merendahkan tubuh pada tekukan lutut.

Segala proses dalam Ngalaksa erat kaitannya dengan musik pengiringnya, Tarawangsa. Bagi masyarakat Rancakalong, Tarawangsa dianggap sebagai media yang tepat untuk membangun suasana sakral dan khidmat yang turut menjembatani dunia manusia dengan dunia atas.

Menyatunya dua dunia tersebut salah satunya ditandai dengan pengalaman trans atau kerasukan yang dirasakan orang yang sedang menari. Tubuh para penari bergerak dengan sendirinya, seolah-olah ada yang menggerakan. Itulah kesempatan berkomunikasi dengan para karuhun agar masyarakat Rancakalong selalu mengingat asal-usul diri serta jasa-jasa para pendahulunya.

Ngalaksa adalah warisan budaya, sekaligus ruh masyarakat Rancakalong. Ngalaksa merupakan simbol penghargaan atas padi yang sangat berharga bagi masyarakat Rancakalong. Bukan sekedar makanan pokok, padi adalah simbol kehidupan. Hingga saat ini masyarakat selalu ngamumule pare. Menjaga, menghargai dan berhati-hati dalam memperlakukan padi dan berbagai olahan makanan berbahan beras.

Ngalaksa juga merupakan pengingat masyarakat untuk senantiasa bersyukur atas karunia dan keberkahan yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengingat atas jasa-jasa para karuhun sebagai pendahulunya. Selain itu, Ngalaksa pun adalah simbol rasa kebersamaan masyarakat Rancakalong.

Dalam hal ini, masyarakat Rancakalong memiliki kepercayaan dan rasa memiliki yang sama, juga bergotong royong dengan perasaan ikhlas untuk membentuk hidup yang harmonis baik itu dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta.

-Semesta adalah rahim, dan tugas kita adalah membuahi dan menjaganya-

***


Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah (2021)

Sumber Foto

Cevi Rosdiana

Sumber Bacaan 

Cahya Hedy. 1999. “Seni Tarawangsa di Dalam Mitos Dewi Sri”. Artikel. Bandung: Pikiran Rakyat.

Ela Yulaeliah. 2006. “Tarawangsa dan Jentreng dalam Upacara Ngalaksa di Rancakalong Sumedang Jawa Barat (Sebagai Sarana Komunikasi Warga). Yogyakarta: ISI.

Rena Asyari. 2016. “Perempuan Sunda Dalam Legenda dan Mitos” Artikel dalam www.qureta.com.

Narasumber

Ano Yuhana. Umur 52 tahun. Profesi PNS, seniman dan budayawan Rancakalong. Alamat Dusun Rancakalong.

Taryat. Umur 55 tahun. Profesi PNS, seniman dan budayawan Rancakalong. Alamat Dusun Rancakalong.

Telah diterbitkan sebelumnya di : https://seratpena.com/2021/02/04/ngalaksa-jembatan-menuju-dunia-atas/


Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar