Enah Sukaenah, Maestro Cianjuran Laras Salendro

Enah Sukaenah


Enah Sukaenah dan Cianjuran

Nama lengkapnya Enah Sukaenah. Ia lahir di Sumedang pada tanggal 16 Oktober1941 dari pasangan suami istri Omot Rohmat dan Encu Kamsudin. Di umurnya yang terbilang sudah tidak muda, dan walaupun seringkali terserang penyakit, Enah masih tampak tegar, matanya dan telinganya masih tajam dan masih begitu aktif melakukan berbagai kegiatan.

Saat ia menceritakan berbagai pengalaman hidupnya yang sangat panjang dan menakjubkan, tercermin semangatnya yang masih begitu membara terutama dalam dunia Cianjuran. yakni kesenian tradisional asal Cianjur yang berkembang sejak abad ke-19.

Dalam dunia kesenian Cianjuran, nama Enah Sukaenah tertulis sebagai salah satu tokoh yang diakui potensi dan pengaruhnya. Sepanjang ia bergelut dalam Cianjuran sejak tahun 1957 hingga saat ini, ia telah meraih berbagai prestasi yang sangat menakjubkan. Dari tahun 1957 hingga tahun 1980, ia meraih berbagai gelar juara di berbagai pasanggiri.

Beberapa capaian terbesar Enah diantaranya pada tahun 1969 ia menjadi juara umum kategori wanita pada pasanggiri DAMAS yang pertama, tahun 1974 menjadi juara pasanggiri Piala Nyi Omas Saodah dan pada tahin 1981 ia kembali menjadi juara umum tetap wanita pasanggiri Cianjuran DAMAS dan mendapat kacapi emas Pinilih Pancaniti.

Disela-sela perbincangan, ia melantunkan beberapa bait lagu Cianjuran yang ia ciptakan dengan penuh rasa bangga dan seolah sedang bernostalgia. Walau tak seprima dulu, suaranya masih sangat merdu dengan berbagai ornamentasi yang indah. Inilah Enah Sukaenah, Cianjuran abadi dalam jiwanya.


Mewarisi Darah Seni

Enah diwarisi darah seni dari kakeknya, Sukarma yang merupkan ahli Tembang Sunda Beluk dan Wayang Golek . Kakek Enah, yang berdomisili di Cisugan, Rancakalong, sering diundang Pangeran Sumedang waktu itu, Suryaatmaja, untuk nembang di kediamannya.

Rasa ketertarikan Enah terhadap kesenian sudah terlihat sejak ia masih kecil. Sebelum terjun ke dalam dunia Cianjuran, Enah lebih dulu kenal terhadap dunia Kepesindenan. Paman (Ua) Enah, Adun Sukandaatmadja yang merupakan seorang dalang Wayang Golek, sering mengajak Enah kecil untuk ikut serta dalam pagelarannya.

Ketika sajian berlangsung, Enah hanya duduk memperhatikan jalannya sajian di panggung (di belakang dalang) seperti seorang pesinden. Tanpa disadari, rasa ketertarikan Enah terhadap seni semakin meningkat, begitupun dengan bakat seninya yang terus terasah.

Setelah beranjak remaja, Enah merasa bahwa vokal Kepesindenan kurang membuatnya nyaman. Hal itu berkaitan dengan musik pengiringnya yang dirasa terlalu padat sehingga mengganggu konsentrasinya dalam bernyanyi terutama berkaitn dengan tempo. Maka dari itu, menginjak umur 15 tahunan (saat masih sekolah di SGB). Enah mulai memfokuskan diri untuk mempelajari Cianjuran.


Jagoan Laras Salendro

Dalam dunia Cianjuran, Enah mempunyai banyak guru. Ketika awal mengenal CIanjuran, Enah dibimbing oleh Aki Suminta dan Mang Kebar Sobari dari Sumedang. Kemudian, setelah ia menikah pada umur 22 tahun, ia kemudian belajar ke Nyi Mas Saodah (alm) dan Mang Engkos dari Bandung. Selain itu, Enah juga belajar nembang ke ibu Cicah (anak Mang Engkos) dan mempelajari beberapa lagu dari Ibu Ijot yang berasal dari Cikeruh.

Setelah Enah menoreh banyak prestasi, di lingkungan seniman Cianjuran, nama Enah identik dengan laras saléndro yakni tangga nada yang sering dianggap sulit oleh banyak penyanyi dalam Cianjuran. Secara pribadi, Enah tidak mengetahui mengapa orang lain menyimpulkan demikian. Namun menurut Enah, ia memang lebih nyaman menyanyikan lagu laras saléndro. Kalau pun dalam laras pélog, ia paling nyaman dalam  wanda dedegungan yakni jenis lagu Cianjuran yang cenderung bernada tinggi dan memiliki karakter lebih gagah. Mungkin, hal terebut berkaitan dengan karakter suara Enah yang lantang dan tegas.

Enah pun mengakui bahwa ia berbeda dengan mayoritas juru kawih. Ia justru merasa lebih lemah pada wanda papantunan dan wanda jejemplangan yang terkesan berkarakter lebih halus dan lembut. “Mamah mah kanu papantunan jeung jejemplangan teh kurang, jadi si tikoro teh teu bisa lemes, teu bisa diperhalus. Hoyongna teh nu tegar we. Sora teh hoyongna kaluar wae", artinya "Mamah, dalam wanda papantunan dan jejemplangan kurang (skillnya), tenggorokan tidak bisa halus, susah dibuat halus. Inginnya yang tegas. Suara inginnya lantang terus". (Enah, wawancara 28 Oktober 2016)

Kesukaan dan kepekaan Enah terhadap laras saléndro juga diduga berkaitan dengan latar belakang ia yang terbiasa dengan lagu-lagu Kepesindenan yang kebanyakan berlaras saléndro . Enah mempelajari lagu-lagu laras saléndro dari Nyi Omas Saodah yang merupkan salah satu tokoh yang mengawali keberadaan lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran laras saléndro.

Kemampuan Enah Sukaenah dalam laras saléndro pun kemudian membuat namanya semakin dikenal. Enah dianggap sebagai sosok penyanyi Cianjuran yang unik dan memiliki tempat tersendiri dalam jiwa kesenian Cianjuran.

Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah 

Sumber Foto

Bunga Dessri Nur Ghaliyah (2016)

Sumber Bacaan

Rosidi, Ajip. 2003. Apa Siapa Orang Sunda. Bandung : PT Kiblat Buku Utama.


Daftar Narasumber

Enah Sukaenah, umur 80 tahun, juru mamaos, alamat Jl. Palasari No. 80, Sumedang.




Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar