Kebudayaan Desa Cihideung: Talagawarna, Irung-irung dan Sasapian

Sasapian dan Masyarakat
Pict: Instagram @sasapiancihideung11

Talagawarna, Irung-irung dan Sasapian: Simbol Kesuburan dan Solidaritas

Desa Cihideung adalah desa indah dan subur yang terletak di kaki gunung Tangkuban Parahu dan Burangrang. Desa ini terkenal sebagai Desa Bunga karena merupakan salah satu pemasok bunga potong dan bunga hias terbesar di Indonesia. Namun, selain itu, sebenarnya di desa ini terdapat banyak kearifan lokal yang memiliki nilai yang sangat dalam. Salah satunya adalah pengetahuan dan nilai yang berkaitan dengan Talagawarna, Irung-irung, dan Sasapian.


Panorama Desa Cihideung
Pict: Ghala Floral Design

Kebertahanan sektor pertanian dan perkebunan di Desa Cihideung sejalan dengan lestarinya sumber mata air sebagai sumber utama kehidupan bagi desa yang indah ini, yakni mata air Talagawarna yang berada di kawasan perkebunan teh Sukawana yang dikelola oleh perhutani, dan Irung-irung yang kini berada di tengah kawasan wisata Lembang Park and Zoo. 

Kedua sumber air tersebut difungsikan berbeda. Hingga saat ini, air dari Talagawarna sangat jernih, bersih dan melimpah. Sumber air tersebut sangat aman digunakan memenuhi kebutuhan warga sehari-hari, seperti untuk minum, mengolah makanan, dan mandi. Warga pun sangat bersyukur karena hanya perlu mengeluarkan dana Rp. 10.000 setiap bulan untuk biaya administrasi pengelolaan aliran air. 

Berbeda dengan Talagawarna, air dari Irung-irung digunakan khusus untuk kepentingan bertani dikarenakan mengandung asam yang cukup tinggi karena berasal dari gunung api, sehingga tidak aman dikonsumsi secara langsung. 

Selain itu, air dari Irung-irung pun tidak melimpah seperti sebelumnya. Dulu, mata air dapat mengairi hingga ke luar desa Cihideung bahkan sampai daerah Gegerkalong (Bandung), tetapi karena menyusutnya daerah resapan air, kini mata air ini hanya dapat mengairi beberapa RT saja. Hal tersebut membuat warga Desa Cihideung menyadari bahwa dari waktu ke waktu, kuantitas pasokan air dari mata air Irung-irung semakin menyusut. 

Mata Air Irung-irung dan Kesenian Sasapian
Pict: Instagram @sasapiancihideung11

Warga Desa Cihideung merasa resah karena mungkin saja di masa yang akan datang, mata air Irung-irung akan benar-benar kering. Atas dasar hal tersebut, hingga saat ini warga desa ini selalu menggelar upacara Irung-Irung atau nyalametkeun solokan yang berarti menyelamatkan air, yang rutin digelar setahun sekali di Dusun Kancah, Kampung Panyairan, Desa Cihideung.

Kata irung-irung berasal dari letak dua lubang mata air yang saling berdampingan seperti lubang irung atau hidung. Salah satu lubang tersebut berasal dari Gunung Tangkuban Parahu, dan lubang lainnya berasal dari gunung Burangrang. Selain itu, dua lubang tersebut pun dimaknai masyarakat sebagai laki-laki dan perempuan yang merupakan simbol kesuburan. Maka dari itu, upacara nyalametkeun solokan menjadi salah satu hal penting untuk menjaga kesuburan di Desa Cihideung.

Proses upacara nyalametkeun solokan dimulai pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB. Mula-mula, ratusan warga berkumpul kemudian melakukan pembersihan mata air dan saluran mata air. Di sela-sela ritual tersebut, seekor domba jantan disembelih tepat di titik sumber air untuk dimasak dan disantap warga di Balai Desa (Kantor Desa). Menyembelih domba dipercaya masyarakat sebagai tanda syukur karena desa kami diberikan anugerah berupa tanah yang sangat subur dan sumber air yang sangat berlimpah. 

Perang Cai Dalam Upacara Ritual Irung-irung
Pict: Zelphi Bagong

Setelah pembersihan mata air, prosesi dilanjutkan dengan perang cai atau perang air (sembur menyembur air dari tengah telaga irung-irung) yang dilakukan sesepuh adat dan mojang desa (para gadis desa) ke arah penonton sehingga suasana upacara menjadi gembira dan semarak. Makna dari perang cai itu adalah sebagai simbol bahwa air yang ada merupakan hak dan milik seluruh masyarakat Desa Cihideung, juga sebagai simbol bahwa air yang melimpah adalah sumber kebahagiaan setiap makhluk hidup.

Suasana meriah pun berubah menjadi mistis ketika kesenian Sasapian digelar. Sasapian merupakan kesenian rakyat berbentuk helaran yang diciptakan tahun 1900-an oleh Aki Madi, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah (kolonial Belanda). Inspirasi terciptanya kesenian ini adalah kebiasaan masyarakat Sunda yang sering berburu. 

Berburu melibatkan dua pihak yaitu pemburu dan hewan buruan, maka dari itu dalam kesenian ini terdapat paninggaran yakni sekelompok pemburu yang sedang memegang bedog (senjata tajam) sebagai simbol masyarakat Desa Cihideung, serta hewan buruan berupa boneka berbentuk sapi (sapi-sapian) yang melambangkan kolonial Belanda.

Seniman Kesenian Sasapian
Pict: Sasapian Cihideung Kampung Pasir Sereh 
(Instagram @umarsp._ @sasapiancihideung09)

Boneka sasapian berbentuk replika sapi hitam yang dapat dimasuki oleh satu orang pemeran. Rangka sasapian terbuat dari anyaman bambu dan kepalanya terbuat dari aseupan (perkakas yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk kerucut, yang digunakan untuk menanak nasi). Rangka sapi tersebut kemudian dibalut oleh kain sebagai kulitnya, serta diberi tanduk dan ekor buatan untuk melengkapi penampilannya. 

Selain karena warnanya yang hitam serta ekspresinya, boneka sasapian terkesan menyeramkan karena hanya dimainkan oleh satu orang yang berarti hanya memiliki dua kaki. Kesan menyeramkan pun semakin terasa karena ritual yang dilakukan sebelum sasapian digunakan untuk pentas. Biasanya, sehari hingga seminggu sebelum pertunjukan, boneka sasapian di simpan di area pemakaman dengan tujuan untuk meminta berkah dan keselamatan dari para leluhur. 

Kesenian Sasapian Sedang Beraksi
Pict: Sasapian Cihideung Kampung Pasir Sereh 
(Instagram @umarsp._ @sasapiancihideung09)

Pada adegan pertunjukannya, sasapian diburu oleh paninggaran yang masing-masing memegang golok. Sajian tersebut seluruhnya diiringi oleh alunan musik yang sederhana dan sehingga memicu terjadinya kasurupan atau kesurupan (kerasukan). Ketika para pemain Sasapian kesurupan, mereka bergerak liar, dan tidak teratur. Mata mereka melotot, mulut mereka menggeram, lalu terbanting-banting hingga akhirnya tercebur masuk kolam dan diakhiri dengan adegan paninggaran yang digambarkan berhasil memburu sasapian. 

Fenomena Kasurupan (Kerasukan)
Pict: Instagram @sasapiancihideung11

Bagi warga Desa Cihideung, kesenian Sasapian tidak berfungsi untuk hiburan semata, namun merupakan simbol solidaritas untuk saling menjaga dan melindungi dari berbagai ancaman yang datang dari luar. Hal ini pun mengingatkan kami untuk selalu waspada terhadap jajahan dalam bentuk apapun. 

Seluruh rangkaian upacara irung-irung yang terdiri atas doa bersama, pembersihan mata air, penyembelihan domba, hingga penyajian kesenian Sasapian, diharapkan dapat menjadi pengingat kepada seluruh warga Desa Cihideung untuk tetap menjaga lingkungan, bersyukur atas segala berkah yang didapatkan, dan tetap mempertahankan rasa saling memiliki dan kebersamaan sesama warga Desa Cihideung.

Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah & Ghala Floral Design (2019)


#KesenianDesaCihideung #RitualIrung-irung #KesenianSasapian #KearifanlokalSunda #RitualTalagawarna

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar