Dulu pink itu warna laki-laki. Bagaimana sejarahnya?

Pict: zainabehsan.20


Beberapa waktu yang lalu, Risa baru saja melahirkan anak pertamanya. Seperti hari-hari sebelumnya, pagi tadi, beberapa temannya datang berkunjung, lalu mereka pun berbincang.

“Sa, bukannya anak kamu cowok ya? Kok bajunya pink?”, Tanya Dena, salah satu temannya.

Hmm… Itulah gambaran pengelompokkan warna berbasis gender yang masih terjadi hingga saat ini. Pink identik dengan perempuan, dan biru identik dengan laki-laki. Maka dari itu, laki-laki yang mengenakan pakaian atau menjadi penyuka warna pink sering dipandang sebagai pribadi yang aneh.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah benar laki-laki lebih cocok dengan warna biru sementara pink itu untuk perempuan? Sejak kapan warna dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin tertentu?

 

Seulas Kisah Warna Biru dan Pink

Pada tahun 1800-an tidak ada pembedaan warna berdasarkan jenis kelamin. Baik itu laki-laki atau pun perempuan, keduanya sama-sama mengenakan pakaian berwarna putih. Bukan itu saja, bentuk pakaiannya pun tidak dibedakan, yakni gaun berenda yang saat ini identik dengan bentuk baju khusus perempuan.

Pict: theriaults.com

Pengelompokkan warna terjadi mulai tahun 1918 yang mulanya dilakukan oleh majalah Earnshaw’s Infrant Departement yang menyarankan pembacanya untuk menggunakan warna tertentu berdasarkan jenis kelamin.

Tetapi, pembedaan warna yang terjadi saat itu ternyata berkebalikan dengan yang kita kenal saat ini. Saat itu, laki-laki disarankan memakai warna pink sementara perempuan memakai warna biru.

Ladies Home Journal dan artikel The Trade Journal The Infants' Department dalam artikelnya yang berjudul Pink or Blue tahun 1918, mengemukakan alasan warna biru dianggap feminin adalah karena terkesan lebih lembut dan juga diidentikan dengan Bunda Maria, sementara pink dimaknai sebagai warna yang lebih kuat dan berani sehingga dianggap lebih maskulin dan dipandang cocok untuk laki-laki.

Pada tahun 1927, Times Magazine pun mengeluarkan grafik yang menunjukkan penggolongan warna tersebut untuk produk anak-anak di perusahaan retail di AS. Akibat dari strategi marketing tersebut, para orang tua mulai terpengaruh untuk mempertimbangkan kesesuaian antara warna produk dengan jenis kelamin anaknya. Sejak saat itulah, kebudayaan pengelompokkan warna mulai terkonstruksi.

Memasuki tahun 1940, para produsen pakaian kemudian mulai menetapkan aturan sebaliknya, yakni warna pink untuk anak perempuan dan biru untuk anak laki-laki. Meskipun begitu, peralihan warna tersebut tidak langsung berubah secara singnifikan. Hal tersebut salahsatunya dibuktikan pada tahun 1950-an ketika para kaum pria berburu mobil Cadillac yang berwarna pink.

 

Pict: setare.com

Pergeseran identitas warna tersebut kemudian tertanam secara signifikan pada tahun 1980-an ketika perusahaan di Amerika kembali menciptakan tren pembedaan warna untuk strategi pemasaran berbagai produknya, dari pakaian bayi, mainan anak-anak, sampai keperluan sekolah.

Tren tersebut pun kemudian diperkuat ketika mulai gencarnya penggunaan alat tes kehamilan. Melalui alat tersebut, orang tua bisa mengetahui jenis kelamin anak yang akan dilahirkannya, sehingga mereka bisa menyiapkan segala kebutuhan bayinya dengan warna yang sesuai dengan tren hingga akhirnya hingga saat ini biru menjadi identitas laki-laki dan pink merupakan identitas perempuan.

Dari sekilas kisah di atas dapat diketahui bahwa tren pengelompokkan warna sengaja dikonstruksi untuk strategi pemasaran perusahaan demi meningkatkan jumlah penjualan produk. Hal itu cukup logis, karena dengan adanya tren itu, para orang tua akan membeli lebih banyak produk perusahaan. Misalnya, jika seseorang memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, otomatis akan membeli dua produk yakni yang berwarna pink dan biru. Berbeda jika tren tersebut tidak ada maka orang tua cukup membeli satu warna netral yang dapat dipakai bergantian oleh anak-anaknya.

 

Stop Mengkotak-kotakkan Warna

Gender merupakan hasil konstruksi sosial sehingga terjadi pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang menghasilkan sifat maskulin dan feminin. Hal itu kemudian menimbulkan pembedaan warna menjadi warna maskulin dan feminin yang ditentukan oleh konvensi sosial dan diwariskan secara kultural dari generasi ke generasi.

Sejak kecil, kita dicekoki pengkotak-kotakkan warna sehingga konsep tersebut semakin tertanam dalam segala aspek kehidupan, dan dapat memperkuat stereotip.

Diskriminasi warna pada berbagai benda dapat memanipulasi gagasan tentang peran gender. Jika pemilahan antar gender terus berlangsung, manusia akan terus hidup dalam kotak kecil yang penuh sekat, sesuai dengan peran gender yang dikonstruksi masyarakat.

Misalnya perempuan identik dengan warna pink yang saat ini secara disadari atau pun tidak disadari dipandang melambangkan sifat halus, hangat dan feminin, maka perempuan dikonstruksi pula sebagai mahluk yang harus bersifat feminim, lemah-lembut, halus, ramah atau hangat, serta berada di sektor domestik.

Sementara itu, laki-laki identik dengan warna biru yang saat ini dianggap melambangkan sifat maskulin, dikonstruksi menjadi mahluk yang harus maskulin, kuat, tegas, berkuasa, dan berada di sektor publik.

 

Pict: freepik.com

Pendikotomian warna dapat berdampak lebih jauh yaitu memperkuat akar partiarki. Maka dari itu, untuk menekan stereotip peran gender, harus dilakukan upaya sejak individu masih kecil, salah satunya yakni dengan tidak membedakan barang-barangnya melalui kode warna. Sebaiknya anak-anak dibebaskan bereksplorasi dan menggunakan berbagai jenis warna tanpa embel-embel jenis kelaminnya agar di masa depan tercipta kehidupan yang setara.


Pict: freepik.com

Penulis
Bunga Dessri Nur Ghaliyah

#Pembagianwarnauntukperempuandanlaki-laki #Warnatidakmemiliki gender #Sejarahwarna #Sejarahwarnapinkdanbiru #Perbedaanwarnapinkdanbiru

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar