Ternyata di Indonesia, hantu perempuan dan hantu laki-laki digambarkan, dipandang, dan diperlakukan berbeda.
Hantu Perempuan Vs Hantu Laki-laki Pict: ogabel.com |
“Sudah mau gelap, cepat pulang, pamali!”.
Itulah kalimat himbauan yang pernah didengar oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Jika tidak patuh, bersiap-siaplah dengan risikonya, misalnya berjumpa dengan sosok perempuan berambut panjang, berbaju putih menjuntai, dan kaki yang tidak menapak ke tanah.
Siapakah dia? Ya, dia adalah Kuntilanak.
Atau jika tidak, bisa saja bertemu dengan sosok perempuan yang punggungnya berlubang tembus dan dipenuhi belatung, yakni Sundel Bolong.
Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, masyarakat khususnya di Indonesia mengenal banyak hantu perempuan, selain Kuntilanak dan Sundel Bolong, masih ada hantu-hantu lainnya, di antaranya Suster Ngesot, Si Manis Jembatan Ancol, Wewe Gombel, Mak Lampir, Sandekala, Palasik, dan sebaganya.
Secara sekilas, sosok-sosok tersebut hanya dikenal sebagai sosok yang menakutkan, namun jika dikaji lebih dalam, dibalik sosoknya yang menyeramkan, hantu lokal tersebut justru mengartikulasikan dirinya sebagai sang liyan, yakni sosok yang di-nomer-duakan, tidak dipandang, atau terpinggirkan.
Tawanya yang khas, merupakan sebuah paradoks atas kepedihannya sebagai korban. Dalam hal ini dapat dilihat mulai dari pemberian julukan hingga cara pandang dan perlakuan masyarakat terhadapnya.
Hampir seluruh hantu perempuan, digambarkan sebagai sosok yang tersakiti di masa lalunya. Misalnya Kuntilanak yang digambarkan sebagai perempuan yang meninggal dalam keadaan mengandung anak hasil perkosaan.
Hal itupun serupa dengan Sundel Bolong, yang namanya berasal dari kata ‘sundal’ yang berarti kelakuan buruk, wanita jalang, atau pelacur; dan ‘bolong’ yang berarti ‘lubang tembus’. Hal tersebut berhubungan dengan sosoknya yang dipercaya memiliki masa lalu sebagai seorang perempuan ‘nakal’ yang kemudian menjadi objek perkosaan, dan meninggal dalam keadaan mengandung, hingga menjadi arwah gentayangan dengan gambaran fisik khas, yakni mempunyai lubang tembus yang mengerikan dan menjijikkan di bagian punggungnya.
Kemudian Si Manis Jembatan Ancol yang meninggal saat kabur dari kejaran laki-laki yang memaksa untuk menikahinya, dan masih banyak lagi cerita kepedihan hantu-hantu perempuan lainnya.
Selain disebarkan dari mulut ke mulut, kisah tersebut semakin mencuat berkat campur tangan industri perfilman pada era Orde Baru—yang kerap menyajikan film horor dengan perempuan sebagai bintangnya, misalnya film ‘Sundel Bolong’ (1981) dan ‘Beranak dalam Kubur’ (1871) yang diperankan oleh Suzzanna.
Dalam berbagai film horor Indonesia pada rezim tersebut, terdapat bentuk-bentuk objektivikasi dan domestifikasi terhadap tokoh perempuan, contohnya scene yang menjadikan perempuan sebagai sosok yang tak berdaya, dijadikan objek kekerasan (pelecehan, pemerkosaan bahkan pembunuhan) dan tidak diberi hak untuk bicara, apalagi melawan.
Dengan demikian, film-film tersebut bisa dikatakan turut melanggengkan konstruksi patriarki—yang di dalamnya terdapat dikotomi peran, sifat, dan kepatutan antara perempuan dan laki-laki. Selanjutmya, pewacanaan seperti ini pun akan membuat masyarakat semakin mengamini bahwa perempuan adalah sosok yang lemah dan pantas disakiti.
Hantu Laki-laki Digambarkan Superior Pict: DeviantArt.com |
Laki-laki ideal dikonstruksi sebagai sosok yang kuat, pemberani, keras, kasar, tegas, mandiri, berwibawa, agresif, superior, dominan, rasional, pintar, mampu mencari nafkah, beraktivitas di ranah publik, dsb. Bahkan ketika menjadi hantu pun, laki-laki digambarkan sebagai sosok Genderuwo, Kolor Ijo, atau Buto ijo (buta hejo), yang digambarkan sebagai sosok yang kuat, perkasa, dan superior.
Sedangkan perempuan dianggap ideal jika bercitra sebagai perempuan ‘baik-baik’ yang ‘wajib’ menjadi sosok pengikut, penurut, cenderung lebih pasif, lemah lembut, sabar, ‘malu-malu’ secara seksual, beraktivitas di dalam rumah, dan menutup tubuhnya serapat mungkin.
Kemudian, istri ideal adalah istri yang inferior, yakni menjadi bawahan yang patuh, membahagiakan serta membuat nyaman suami dan anak-anaknya, harus pandai mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, dan ketika menjadi seorang ibu, ia harus mengajarkan citra istri ideal tersebut pada anak-anak perempuannya. Kemudian, kalaupun saat ini perempuan pergi ke luar rumah untuk mencari nafkah, bukan berarti beban pekerjaan mereka di dalam rumah menjadi berkurang karena hal tersebut dianggap hanya kewajiban seorang istri, bukan kewajiban suami.
Ketika seorang perempuan tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’, maka ia dianggap wajar bahkan dianggap pantas mendapat perlakuan buruk dalam kehidupan sosialnya dan seksualnya. Lebih jauh lagi, alih-alih diberi perhatian, dibela atau dilindungi, para korban tersebut justru sering disalahkan atas penderitaannya.
Misalnya ketika perempuan menjadi korban pelecehan, yang sering disalahkan adalah cara bertindak dan berpakaian kaum perempuan itu sendiri yang dianggap sebagai pemicu. Hal tersebut pun tercermin pada tokoh Alisa sebagai korban dalam film ‘Sundel Bolong’ yang dianggap pantas menjadi objek kekerasan seksual, dan justru disalahkan atas hal tersebut karena memiliki masa lalu sebagai pekerja seks yang identik dengan perempuan ‘gampangan’—yang pulang malam hari dan mengenakan pakaian pemicu birahi. Latar belakang tersebut pun kemudian membuatnya terus diposisikan sebagai ‘liyan’, bahkan setelah meninggal dan menjadi hantu Sundel Bolong.
Di dalam masyarakat, seks dipercaya sebagai dunia laki-laki, dan perempuan adalah objek seksualnya. Hasrat seksual laki-laki yang berkobar-kobar dan sulit dibendung dipercaya sebagai sesuatu yang alamiah karena hormon (ranging hormone) di dalam tubuhnya, sehingga dipandang wajar, bahkan perlu disalurkan. Kemudian tubuh perempuan senantiasa dianggap sebagai lokasi seks dan lokasi penundukan laki-laki terhadap dirinya.
Tubuh perempuan diharuskan tertutup rapat dengan alasan untuk menghindari perhatian laki-laki atas dirinya yang memicu terjadinya berbagai bentuk kekerasan seksual. Padahal, hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa banyak pula perempuan dengan pakaian tertutup dan bertindak sewajarnya, namun tetap dijadikan objek kekerasan seksual.
Sosok hantu perempuan, dianggap sebagai hukuman atas perempuan yang tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’ dan melanggar ‘aturan’ sosial, sehingga tidak sempurna menjalankan siklus hidupnya. Hidup ideal yang diwacanakan bagi perempuan adalah menikah, hamil, memiliki, anak, menjadi ibu rumah tangga, membesarkan anak, dan meninggal dengan tenang.
Dengan demikian, arwah gentayangan tersebut dipercaya sebagai akibat dari ketidakberhasilannya dalam menciptakan siklus ideal tersebut, misalnya karena menjadi korban perkosaan, keguguran, atau meninggal saat melahirkan, yang dibumbui embel-embel sebagai perempuan ‘nakal’.
Arwah Perempuan 'Tidak Ideal' Pict: m.imgur.com |
Dengan adanya pengkonstruksian peran, perilaku, aktivitas, atribut, dan kepatutan yang dianggap tepat untuk perempuan atau laki-laki, maka setiap individu senantiasa hidup dengan mengacu pada harapan-harapan sosial dan dibelenggu oleh keharusan-keharusan, serta tuntutan-tuntutan yang bukan berlandaskan pada kebebasan dan ekspresi pribadi.
Kemudian, dampak selanjutnya adalah perempuan yang senantiasa dijadikan sebagai makhluk nomor dua dan diperlakukan dengan semena-mena.
Sosok hantu perempuan dapat ditafsirkan sebagai simbol dari perempuan yang tidak diinginkan dan bahkan dianggap menjijikan melalui penggambaran fisiknya yang kotor, bau, bahkan mengerikan.
Mitos yang bermula dari film-film horor yang secara berkelanjutan terus dipercaya dan masih menjadi buah bibir masyarakat ini pun bisa dimaknai sebagai penanda tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Selain itu, teror yang dilakukan para arwah gentayangan juga dapat mengartikulasikan betapa rendahnya upaya penegakan hukum di Indonesia terhadap para pelaku.
Jika dicermati lebih dalam, terbentuknya mitos-mitos mengenai hantu perempuan di Indonesia mengindikasikan adanya campur tangan ideologi politik untuk mengendalikan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan. Sosok hantu perempuan merupakan langkah strategis untuk membungkam kaum perempuan dan melanggengkan ideologi patriarki.
Melalui wacana yang terus-menerus direproduksi melalui media film, bahasa dan simbol, ideologi patriarki telah mengakar di dalam alam pikiran masyarakat, sehingga tidak mudah untuk diubah, termasuk mengubah tafsir masyarakat terhadap mitos-mitos arwah para perempuan tersakiti tersebut.
Hal diatas membuktikan bahwa tontonan dan media sosial adalah lokasi strategis dalam memperkokoh, menggugat, atau bahkan membentuk ideologi di masyarakat. Dengan demikian, media tersebut pun dapat digunakan dengan bijak sebagai ruang untuk mengedukasi, sehingga keadilan dapat diciptakan sejak dalam pikiran.
Penulis
Bunga Dessri Nur Ghaliyah
#RahasiaHantu #Hantu #CeritaHorror #CeritaMisteri
2 Komentar
Terimakasih telah berbagi ilmu,,, mengisi waktu luang ,dan menghindarkan saya dari kegabutan..🙏🙏
BalasHapusDipikir-pikir iya juga ya.. Lebih sering denger cerita hantu perempuan dari pada hantu laki2. Ternyata oh ternyata.
BalasHapus