![]() |
Potret Kesedihan Para Nayaga Gamelan Parakansalak Dok: Bunga Dessri (2020) |
Sebab disetiap perjalanan akan selalu ada hal-hal baru. Tentang pertemuan dan perpisahan. Tentang kebersamaan dan melepaskan. Tentang kisah yang tak terlupakan.
Rona Kesedihan Para Nayaga
Pagi itu, dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara gending gamelan dari ruang gamelan
Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang. Ketika mendekat, terlihat deretan nayaga yang sedang menabuh Gamelan
Parakansalak.
Tak seperti biasanya, tak ada tawa, tak ada keceriaan, tak ada
anak-anak yang berlenggak-lenggok menari selaras dengan irama.
Tatapan mereka tampak kosong. Tergambar rona kesedihan yang
sepertinya sangat mendalam. Bukan tanpa sebab, bukankah wajar
jika merasa sesak ketika harus melepaskan hal yang kita cintai?
![]() |
Rona Kesedihan Nayaga Gamelan Parakansalak Dok: Komunitas Kacapaesan (2020) |
Ibarat memperlakukan anak sendiri, para nayaga sepuh tersebut sudah mendedikasikan dirinya selama puluhan tahun untuk menjaga, dan merawat seperangkat gamelan yang tengah mereka mainkan. Gamelan yang sangat berperan dalam pelestarian dan pewarisan kesenian bagi para generasi baru di Kabupaten Sumedang.
Sekilas Tentang Gamelan Parakansalak
![]() |
Ancak Gamelan Parakansalak |
Secara sekilas, masyarakat, khususnya para pengunjung museum, menganggap Gamelan Parakansalak menarik dan unik dari segi bentuk fisik dan coraknya (ancak) yang berbeda dari gamelan pada umumnya. Tetapi, ternyata bukan hanya itu saja, gamelan titipan ini ternyata bukan waditra (alat musik) biasa, karena memiliki ingatan sejarah yang panjang dan menarik.
Gamelan Parakansalak dibuat tepatnya tahun 1825 atas prakarsa A.W. Holle[1], administratur perkebunan teh di Parakansalak-Sukabumi. Gamelan tersebut kemudian disimpan di kediaman A.W. Holle dan dimainkan oleh para pekerja perkebunan teh di sana.
![]() |
Gamelan Parakansalak di kediaman A.W. Holle Arsip: Tim Sarioneng |
Pada
saat itu, tanah Priangan, khususnya Parakansalak terkenal sangat subur dan
dapat menghasilkan berbagai hasil perkebunan yang berkualitas.
Singkat
cerita, A.W. Holle kemudian menjadikan Gamelan Parakansalak sebagai media untuk
mempromosikan hasil perkebunannya, khususnya teh, kopi, dan kokoa hingga ketiga
produk tersebut menjadi komoditas yang sangat menjanjikan bagi VOC (Veerenigde
Oost Indische Compagnie)[2].
Setelah
Belanda tidak berkuasa di Indonesia, Gamelan Parakansalak kemudian menjadi
milik bupati Sukabumi saat itu, Rd. R.A.A Makmoen Alrasjid Soeria Danoeningrat
atau akrab disapa Dalem Gelung, yang kemudian diwariskan kepada putranya, R.
Goemira Swargana Soeria Danoe Ningrat (akrab disapa Goembira) yang berdomisili
di Bandung.
Agar
waditra tersebut lebih terawat dan
dapat memberikan manfaat kepada masyarakat, pada tahun 1975, Goembira
menitipkan Gamelan Parakansalak kepada Yayasan yang didirikan ayahnya, yakni
Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) Sumedang. Sejak saat itu, Gamelan Parakansalak
dirawat dan digunakan sebagai media pewarisan seni tradisional (musik dan tari)
di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.
Gamelan
Parakansalak beberapa kali tampil kembali sebagai media promosi hasil
perkebunan juga menjadi ikon promosi kebudayaan. Salah satunya acara
Impressions Universelles di Aula Simfonia Jakarta yang merupakan karya
rekonstruksi pertunjukan Gamelan Parakansalak di Kampoeng Java, Paris tahun 1889.
![]() |
Impressions Universelles Paris 1889 Arsip: Tim Sarioneng |
Rekonstruksi tersebut dilakukan karena Gamelan Parakansalak ada kemungkinan memengaruhi gaya komposisi musik komposer, Debussy, yang kemudian berdampak besar pada aliran musik di seluruh dunia. Sejak saat itulah, eksistensi Gamelan Parakansalak semakin meningkat dan menjadi sorotan berbagai pihak.
Gagasan Pemindahan Gamelan
Parakansalak
Setelah
hampir 46 tahun berselang, Goembira sebagai ahli waris kemudian
memiliki gagasan untuk melebarkan sayap Gamelan Parakansalak sebagai ikon
kebudayaan Sunda di kancah Nasional maupun Internasional.
Hal
tersebut kemudian mendapat respon positif dari Direktorat Jendral Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui kepala Museum Nasional RI, hingga akhirnya pihak ahli waris berencana untuk menghibahkan Gamelan Parakansalak kepada pemerintah yang kemudian akan ditempatkan
di Museum Nasional Jakarta (tertera dalam surat pernyataan yang ditandatangi oleh Ir.
Di sisi lain, dalam perbincangan dengan beberapa nayaga dan masyarakat Sumedang, rencana tersebut sepertinya terasa berat bagi mereka.
"Kumaha deui neng, da kahoyong nu gaduhna kitu. Mung ai kahoyong abdi mah di Sumedang ulah eureun latihan teh pan barudak kedah diajar", tutur salah satu nayaga, yang kurang lebih artinya:
"Mau bagaimana lagi, keinginan dari ahli warisnya. Tapi kalau keinginan saya proses latihan di Sumedang tidak berhenti karena anak-anak (generasi muda) harus belajar (proses pewarisan)."
Gagasan pemindahan Gamelan Parakansalak adalah hal yang harus dipertimbangkan dengan sangat matang. Terlepas dari segela keputusan akhirnya, intinya Gamelan Parakansalak bukan benda biasa. Waditra ini memiliki ruh berupa sejarah yang luar biasa juga digunakan selama puluhan tahun sebagai media pewarisan seni tradisional di Sumedang. Maka dari itu, diperlukan suatu upaya yang sangat serius dari berbagai pihak (baik itu pihak ahli waris, pemerintah Kabupaten Sumedang, serta masyarakat Sumedang) agar Gamelan Parakansalak terus terawat dan terjaga dengan maksimal. Selain itu, diperlukan pula upaya yang lebih serius terkait proses pewarisan kesenian serta penelitian terkait gamelan ini.
Allan P. Merriam. 1964. The Anthropology of Music. Illionis: Nortwestern
University Press.
Bambang Sugiharto. 2013. Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari.
Bart Barendregt dan Els
Bogaerts. 2016. Merenungkan Gena Perjumpaan Musikal
Indonesia-Belanda. Jakarta: KITLV-Jakarta & Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Bernard Suryabrata. 1987. The Island of Music, an Essay in Social Musicology .Jakarta: Balai Pustaka.
Haryoto Kunto. 2008. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia.Maria Graver and Berteke Waaldich. 2004. The Dutch National Exhibition Of Woman Labor In 1898.
Matthew Issac Kohn. 2010. Performing Otherness, Java and Bali on International
Stages, 1905-1952. North America: Association with the International
Federation of Theatre Research.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat
Seni. Bandung : ITB Bandung.
Supriadi, Dedi. 1994. Kreativitas,
Kebudayaan dan Perkembangan Iptek. Bandung : Alfabeta.
1 Komentar
Auranya yah 🌩
BalasHapus