Budaya Bambu Di Desa Citengah Sumedang

 Desa Citengah, Tempat Terindah Di Kosmos

Tempat asing yang tiba-tiba terasa seperti rumah sendiri. Pertemuan sekilas yang bergema selamanya. Orang asing yang ditakdirkan untuk menjadi teman. Pengembara yang benar-benar saling terhubung dan berbagi momen tanpa sekat.

Foto: Ilustrasi Bambu (Society6)

Hari kami dimulai pada pukul 6:00 pagi. Masih setengah tertidur, kami bergegas menyalakan dua sepeda motor yang akan membawa kami berempat ke Desa Citengah, Kabupaten Sumedang. Sebuah desa berbentuk perbukitan seluas 3.030 hektar di ketiggian 501-1000 mdpl. Dari tempat menginap, daerah alun-alun Sumedang, kami menghabiskan waktu kurang dari 30 menit berkendara melawan pergolakan tidur sembari menyaksikan matahari terbit di atas pegunungan.

Setiap alur perjalanan yang kami lalui sangat indah. Akses dan kondisi jalan pun sangat bagus dan aman dilalui. Kami menikmati jejak-jejak cahaya mentari yang terserap dalam pepohonan tropis yang rimbun, sembari memenuhi rongga pernafasan kami dengan udara yang sangat bersih dan sejuk. Di sekeliling kami sunyi, kecuali gemuruh derasnya arus sungai yang membentang di sepanjang perjalanan, sesekali suara kicauan burung di kejauhan, atau siul an kecil dari katak pohon yang tersembunyi. Meskipun jalur ini adalah salah satu yang telah dilalui banyak orang sebelumnya, kami merasa seperti orang pertama yang menjelajahinya.

Di sepanjang perjalanan, kami melewati dan singgah sejenak di berbagai area wisata. Bukan hanya satu jenis, Citengah memiliki tiga jenis sektor pariwisata, yakni rekreasi keluarga seperti Kampung Karuhun, rumah makan dan kolam renang Cibingbin, serta rumah makan dan kolam renang Tirta Sari; wisata ziarah yang terdiri atas Curug Ciparupuyan, Leuwi Konyal dan Cepet, Makam Gorobog, serta Makam Mbah Damas; dan wisata alam yang terdiri atas Makam Dewa, Gua Jepang, Camping Ground, Curug Cadas Bodas, Curug Cikole, Curug Cikupa, Curug Cipohpohan, Perkebunan Teh Margawindu, Curug Cigorobog, Curug Cisurian, Curug Kencana, Curug Cipatrol, Curug Cimeunceuk Bikang, dan Curug Baros. Saking beragamnya lokasi wisata di Desa Citengah, rasanya kami tidak mungkin cukup satu hari untuk menikmati seluruhnya.

Sepanjang perjalanan yang kami tempuh sejauh 15 km, cakrawala terus membentang di seluruh bidang pandang kami dengan cara yang paling spektakuler.  Bukit-bukit menjulang, sawah terbentang, sungai besar membelah, gelak tawa para wanita pemetik teh, air terjun yang begitu menawan, dan ribuan pepohonan yang bergoyang serentak seolah sedang bersuka-cita. 

Akhinya kami tiba di area tertinggi di Desa Citengah, sebuah kampung yang berada di ketinggian 1000 mdpl bernama Cisoka. Kini kami berada di tengah hamparan perkebunan teh yang dikelilingi sepenuhnya oleh bukit-bukit menjulang yang berwarna kebiruan. Kampung ini cukup unik. Di sini hanya ada sekitar 27 Kepala Keluarga (KK). Rumah-rumah warganya pun masih sangat tradisional, berbentuk rumah panggung berdinding bilik bambu dan beralas kayu. Selain itu, kampung ini belum mendapat aliran listrik dari PLN sehingga mengandalkan panel surya sendiri untuk pasokan listriknya.

Saat berkeliling, kami bertemu dengan Ki Madhari, pemangku Rurukan Adat Nabawadatala Desa Citengah. Di saat kami merasa mulai kedinginan, Ki Madhari mengajak kami mampir sejenak di kediaman salah satu warga dan tanpa ragu-ragu menjamu kami. Kami disuguhi singkong goreng, air teh panas khas Cisoka, dan lahang, minuman isotonik khas Sunda yang diperoleh dari sadapan pohon aren.

Dalam kehidupan sehari-hari, secara umum masyarakat Citengah sangat dekat dengan alam. Bagi mereka, alam bukan benda mati, namun sesuatu yang hidup dan menghidupi seluruh mahluk di muka bumi. Melalui perbincangan dengan Ki Madhari, kami pun menjadi tahu bahwa ternyata Desa Citengah tak hanya menawarkan kekayaan alam, namun juga memiliki berbagai daya tarik lainnya, khususnya adat dan budaya yang berkaitan dengan pohon bambu. Berikut ini tuturan Ki Madhari kepada kami.


Cerita Ki Madhari: Awi, Sumber Kehidupan


Foto: Ki Madhari (Kacapaesan-2020)

Kabupaten kami, Sumedang, dinobatkan sebagai Puseur Budaya Sunda atau pusat budaya Sunda, dan desa Citengah adalah salah satu wilayah percontohannya karena kami masih hidup dan berpegang pada kebudayaan tradisional. Mayoritas dari kami bukan akademisi ilmu kebudayaan sehingga kami tidak terlalu memahami teori-teori ilmiah, namun secara turun-temurun kami mengetahui bahwa agar hidup harmonis, maka kami harus menjaga nilai-nilai yang diajarkan para karuhun.

Dalam kehidupan sehari-hari, kami tidak bisa dipisahkan dari alam. Dekatnya hubungan kami dengan alam pun tercermin dari nilai-nilai yang terus diturunkan dari generasi ke generasi di Citengah, salah satunya yakni berkaitan dengan bambu. Di berbagai wilayah di Asia, bambu seringkali dianggap sakral, melambangkan keanggunan, kekuatan, kelenturan, daya tahan, dan umur panjang. Begitu pula dengan kami, bagi masyarakat Citengah bambu merupakan simbol keharmonisan antara alam dan manusia.

Bambu atau yang biasa kami sebut awi, merupakan tumbuhan yang paling akrab dengan kami. Desa kami seperti surga bagi tanaman ini. Citengah sebagai desa yang berlokasi di daerah pegunungan memiliki awi dengan kuantitas yang tinggi. Di sini, awi mudah ditemukan di berbagai lokasi, seperti di perkarangan, tepi sungai, tepi jurang, atau batas-batas pemilikan lahan.

Bukan hanya satu jenis, di hampir setiap pelosok desa terdapat banyak rumpun dari berbagai jenis awi. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang tahun 2003 menyebutkan bahwa di Sumedang terdapat sembilan jenis awi yang seluruhnya terdapat di desa Citengah, yakni : awi tali, awi haur, awi gombong, awi surat, awi betung, awi tamiyang, awi ampel hideung, awi tali dan awi wulung.

Eratnya hubungan awi dengan kebudayaan desa Citengah didorong oleh sifat tanaman ini yang sangat mudah dibudidayakan dan memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Berbeda dengan kayu yang membutuhkan waktu lama untuk tumbuh, awi tumbuh dengan sangat cepat, bahkan ada beberapa jenis awi yang bahkan mampu tumbuh hingga sepanjang 60 cm dalam sehari. Selain itu, awi pun memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan berupa batang yang kuat, serta kulit batang yang mudah dibentuk. Dengan demikian, awi bagi kami adalah salah satu sumber kehidupan, kekayaan alam yang dapat kami gunakan untuk berbagai kepentingan, tanpa merusak keharmonisan alam desa kami.

Hal pertama yang menyebabkan dibudidayakannya awi di desa Citengah adalah diwariskannya kepercayaan turun-temurun bahwa “ngaruksak daerah mah cukup ku ngaruntagkeun dapur awi na” yang artinya “jika ingin merusak daerah (alam dan kehidupan) cukup hanya dengan merusak rumpun bambunya”. Kami percaya bahwa kehidupan kami akan terjaga, salah satunya dengan cara memelihara dan membudidayakan awi.

Para karuhun kami mewariskan ilmu penggunaan awi dalam kehidupan, yakni pemanfaatan awi sebagai tanaman konservasi karena sistem pengakaran serabut dengan akar rimpang yang sangat kuat. Awi dapat bermanfaat untuk menjaga keutuhan lingkungan hidup seperti meningkatkan volume air bawah tanah (kelestarian mata air), konservasi lahan, dan penghijauan atau perbaikan lingkungan. Dalam cakupan yang lebih luas pun, dapur awi (rumpun bambu) dapat menjadi kesatuan ekosistem yang memungkinkan jalinan rantai makanan yang saling bersimbiosis.

Awi adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki sifat-sifat yang menguntungkan yaitu batang yang kuat, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk, mudah dikerjakan dan mudah diangkut. Maka dari itu, selain berfungsi untuk pelestarian lingkungan hidup, awi pun memiliki banyak manfaat lainnya, terutama untuk kehidupan sehari-hari, bahkan dapat berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat Citengah.

Awi merupakan tanaman yang serbaguna karena seluruh bagiannya, dari mulai akar, daun, iwung (rebung), sampai batang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Citengah. Bagi kami, iwung atau bambu yang baru tumbuh sering dibuat sayur sebagai pelengkap makanan sehari-hari; sedangkan batangnya dimanfaatkan untuk kepentingan industri, seperti untuk alat rumah tangga, kerajinan atau produk dekoratif, alat musik dan bahkan dapat menjadi bahan bangunan tahan gempa.

Beberapa nama perkakas berbahan awi yang kami buat di antaranya ambén, bésék, cetok, étém, gedeg, gribig, jeujeur, kalo, kelanding, lodong, nyiru, osol, pengki, posong, rancatan, ranggap, said, sundung, tampir, tarajé, tolok, bilik, boboko, bongsang, carangka, cempeh, hihid, kekeb, kembu, kempis, kre, kohkol, songsong, susug, aseupan, ayakan, dan sebagainya. Selain itu, kami pun menggunakan awi sebagai bahan permainan tradisional di antaranya bebedilan (pistol mainan), jajangkungan (egrang), langlayangan (layang-layang), dan momobilan (mobil-mobilan).

Beberapa pemanfaatan awi berdasarkan jenisnya misalnya awi tali yang sering dijadikan bahan anyaman, boboko (tempat menyimpan nasi), dan bilik (bahan dinding dan atap rumah); awi surat yang sering digunakan untuk membuat bahan bangunan seperti tiang-tiang penyangga untuk rumah dan saung; awi betung yang seringkali digunakan untuk membuat jembatan; serta awi tamiang yang digunakan sebagai bahan dasar seluruh alat musik utama kesenian khas Desa Citengah yakni kesenian Songah (Songsong Citengah). Selain itu, berbagai jenis awi pun selalu dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan masyarakat, seperti upacara ritual, upacara perkawinan, dan hajatan (syukuran) keluarga.

Pentingnya peran awi bagi masyarakat Citengah pun dapat dilihat dari cara kami memperlakukan awi. Kami tidak sembarangan menebang awi karena kami memiliki pengetahuan tentang cara  mengolah awi yang diwariskan secara turun-temurun. Awi yang dipilih untuk ditebang biasanya adalah awi yang tumbuh di ketinggian yang tersinari langsung oleh matahari, karena kualitasnya lebih bagus jika dibandingkan dengan awi yang tumbuh di legokan (yang tidak tersinari langsung oleh matahari). Selain lokasi tumbuhnya, kami pun memiliki tatacara dalam proses penebangan agar menghasilkan kualitas awi yang tahan lama, yakni dengan cara memperhitungkan cuaca dan waktu penebangan. Pertimbangan kami misalnya, tidak menebang awi ketika musim penghujan karena kualitas awi yang ditebang saat itu, tidak akan sebagus dan sekuat pada musim panas.

Kami pun biasanya menebang awi yang sudah tua. Umur awi tersebut biasanya diidentifikasi dari warna daun yang sudah berwarna coklat. Selain itu, waktu yang bagus untuk menebang awi adalah dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang, karena kondisi kadar air di dalam awi tersebut sedang turun, dengan demikian awi yang ditebang akan berkualitas bagus dan tahan lama ketika dijadikan berbagai perkakas.

Awi merupakan kelengkapan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Citengah. Dengan memelihara dan mengembangkan awi, kami meyakini bahwa kami tidak akan pernah kekurangan sumber air dan makanan; juga akan hidup berdampingan dengan alam, bahkan meyakini bahwa alam akan menjaga kami dari segala marabahaya.

 

Jejak Tak Terlupakan

Foto: Desa Citengah (Kacapaesan-2020)


        Seiring berjalannya waktu, langit semakin hitam, tampak seperti kehampaan. Burung
-burung sudah bergegas pulang dan sekarang tangisan mereka hanyalah bisikan. Angin men gambil kekuatan dan hawa dingin yang ditimbulkannya seakan membekukan tubuh kami. Kami melihat bintang-bintang bertaburan di atas langit sambil berbicang tentang perjalanan menakjubkan kami hari ini.

Dari Desa Citengah, kami semakin disadarkan bahwa alam memiliki nilai hidup. Alam tidak semata-mata berfungsi untuk dinikmati keindahan bentuknya, namun digunakan pula sebagai media pewarisan nilai-nilai kearifan lokal. Alam Desa Citengah mencerminkan dekatnya hubungan masyarakat dengan alam, penghargaan terhadap alam, dan rasa terimakasih pada para karuhun.

“Sahade-hadena imah, nu paling merenah mah imah sorangan” (sebaik-baiknya rumah, yang terbaik adalah rumah sendiri), itulah ungkapan yang sering kami dengar. Ajaibnya, Desa Citengah, tempat yang sebelumnya asing bagi kami, dalam waktu singkat seolah menjelema menjadi rumah kami. Bagi kami, desa Citengah adalah anugerah dari sang Pencipta, sang pemberi kehidupan, yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sembari bersiap-siap untuk pulang kami berbicara dalam harti "Mungkin Desa Citengah adalah salah satu tempat terindah di kosmos".

 

Penulis

Bunga Dessri Nur Ghaliyah

Sumber Bacaan

 

Pemerintah Desa Citengah. 2019. “Profil Desa Citengah”. Sumedang: Kantor Desa Citengah.

 

Ridwan dan Catur Sutarya. 2018. “Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Mengembangkan Ekonomi Kreatif di Desa Citengah Kabupaten Sumedang”. Jurnal Riset Akuntansi Kontemporer Vol.10, No. 1.


Sunarya. 2020. Rurukan Adat Nabawadatala. Sumedang: Nabawadatala.

 


Narasumber

 

Sunarya, Umur 49 tahun, Jenis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Seniman dan pengembang kesenian songah, Alamat Desa Citengah.

 

Agus Kusnandar, Umur 41 tahun, Jenis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Pengelola tempat wisata, Alamat Desa Citengah.



Keterangan

 

Penulis :  Bunga Dessri Nur Ghaliyah (2020)

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Menulis Nasional Writingthon Sumedang

 

#DesaCitengah #Budayabambu #Musikbambu #Bamboomusic

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar