Kisah Misteri : Mati Suri




Pagi itu seperti biasaya, saya akan bergegas pergi ke kolam ikan, untuk memberi makan ikan-ikan lele yang saya ternak untuk dijual. Pagi itu, sebelum ke kolam, saya mampir ke rumah ema, ibu saya. Kebetulan, rumah ema jaraknya tak jauh dari rumah saya dan terlewati jika saya hendak ke kolam. Cerita ini adalah pengalaman yang diceritakan rekan ayahku, namanya Yana atau yang biasa saya panggil Mang Yana. Mang Yana adalah seorang peternak ikan lele di sebuah desa yang tak bisa disebut namanya. Ia adalah sosok pekerja keras, dan ramah, termasuk kepada keluargaku. Beberapa tahun lalu, ia bercerita bahwa ia pernah mengalami mati suri ketika berumur 40 tahunan. Inilah kisah yang diceritakan Mang Yana:

Ilustrasi Rumah Ema 
Pict: Azhari Sofyan

Saya ingat betul, di sana, saya duduk di kursi teras rumah ema, lalu ema membawakan sepiring singkong goreng dan segelas kopi panas. Ema memang begitu, walau pun saya sudah berkepala empat, sudah punya istri dan dua orang anak, ia tetap saja selalu memanjakan saya. Beliau masih sering mengelus-elus kepala saya, membawakan makanan yang ia masak ke rumah saya, bahkan ketika mempir ke rumahnya pun, ema seperti ini, selalu membawakan saya makanan dan minuman.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja ema berlari keluar, menghampiri saya tapi menangis sambil berteriak-teriak meminta tolong kepada para tetangga. 

"Euleuh...Astagfirullah...Nyai... Ujang... Tulung..Tulung.. Ieu kunaon!", (Ya ampun..Astagfirullah.. Nyai, Ujang, Tolong..Tolong.. Ini kenapa!), ucap ema dengan suara keras dan panik.

Saya keheranan. "Loh, ema kenapa sih?", pikir saya dalam hati sambil melihat ema yang keluar dari pintu sambil mendekat ke arah saya.

Ketika tak sengaja menunduk, DEG! (Jantung saya seperti terhenti). 

Saya merasa saya masih duduk di kursi tadi, tapi saya justru meihat diri saya tergeletak di lantai dan ema memeluk saya sambil menangis. “Ujang… kunaon ai ujang? Tulung.. tulung..” begitu kata ema. Artinya “Nak, kenapa kamu nak? Tolong.. tolong”, begitu.

Saya ingat bagaimana ema berteriak kencang dan bagaimaa ekspresi paniknya. Saat itu saya bingung, kenapa saya melihat diri saya sendiri. Saya pikir ini hanya mimpi.

"Ya Allah, ada apa ini? Mungkin ini mimpi. Tapi.. Apa arti mimpi ini?"

***

Saya terus memerhatikan diri saya yang tergeletak di lantai. Tak lama kemudian, para tetangga berdatangan dan mengangkut tubuh saya itu ke dalam rumah. 

Kemudian datang Mang Dede, tetangga yang berprofesi sebagai mantri atau perawat. Saya mengikuti nya ke dalam rumah. Saya lihat Mang Dede memeriksa saya. Ia memegang leher saya, mengecek nafas saya, memegang nadi di pergelangan saya, dan lain-lain. Berkali-kali. Saya ingat saat itu Mang Dede melakukannya berkali-kali, seperti ingin memastikan sesuatu.

"Ema... Hapunten pisan.. Yana teh tos teu aya", (Ema... Maaf sekali.. Yana sudah tidak ada/meninggal), ucapnya.

Saya kaget, “Mana mungkin saya meninggal? Bukannya barusan saya sedang duduk di kursi?”. Saya masih belum percaya dan menganggap ini hanya mimpi. Konon, banyak orang yang memimpikan dirinya sendiri meninggal, dan mitosnya, mimpi seperti itu adalah pertanda panjang umur.

Saya menoleh ke berbagai sudut rumah. Saya melihat ema menangis sambil memegang dadanya. Tidak kencang, tapi saya bisa merasakan itu tangisan kepedihan. Tangis ema sesak. Ema terus berkata "Ujang.. Ujang.. Anak ema.." (Nak.. Nak.. Anak ema).

Tak lama kemudian, istri dan anak-anak saya datang, mereka semua menangis lemas. Tangisan mereka juga begitu dalam sampai rasanya saya merasa ikut sesak. 

“Apakah ini mimpi? Tapi mengapa terasa sangat nyata?". Saya bisa melihat, dan mendengar dengan jelas, bahkan apa yang terjadi benar-benar memiliki alur yang jelas. "Jangan-jangan saya benar-benar meninggal?”, Saat itu kepanikan saya mulai bertambah.

Saya lalu mendekati istri yang sangat saya cintai “Mah, ini bapa mah. Bapa belum meninggal. Liat bapa mah.”… Saya terus berusaha berbicara pada istri saya, bahkan sampai berteriak kencang, tapi ia tidak melihat dan mendengar saya. 

Begitu pun dengan anak-anak, ema, dan para tetangga, semuanya tidak bisa saya ajak berkomunikasi. Saat itu saya menyadari bahwa tubuh saya seperti melayang, terlalu ringan, bahkan tak jarang saya merasa oleng dan hamper tersungkur, seperti bulu yang terhempas angin.

Saya berusaha menenangkan diri, lalu saya berdoa. Setiap berdoa, tubuh saya bisa tegak, dan ketika saya berhenti berdoa, tubuh saya rasanya kembali terombang-ambing, tak bisa tegak sama sekali. Maka dari itu, sambil menangis dan panik, saya terus berdoa dan melihat ke arah istri saya yang tak henti-hentinya menangis.

Sambil menangis, istri saya pun berdiri lemas lalu bergegas pergi meninggalkan jasad saya. Saya ikuti dia, ternyata dia pergi ke rumah kami. Ia berjalan terhunyung-hunyung, lalu masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, tangisnya semakin kencang, hingga terdengar segukan yang dalam. 

Setelah tangisnya agak mereda, ia lalu membuka lemari, melihat dompet dan mengambil uang kami yang jumlahnya tak seberapa. Ia lalu mengambil foto saya yang terletak di pinggir ranjang dan menatapnya sambil bergumam “Pa, domba kesayangan kita, si Jalu, kita sembelih saja ya pa, buat orang-orang yang bantu pemakaman bapak, buat tetangga-tetangga yang mendoakan bapak. Maaf ya pa”. Ya Allah, hatiku menangis.Saya tak sanggup melihat tangis istri saya, saya tak kuat ya Allah.

Setelah kembali ke rumah emak, saya mengikuti para tetangga yang akan menggali kuburan saya. Sambil menggali kubur, mereka mengobrol, dan membicarakan saya. Beberapa di antaranya ternyata pernah tak sengaja disakiti oleh saya. 

"Kemarin saya mah sakit hati sebenernya sama Pak Yana, tapi yasudah lah", tutur salah seorang tetangga saya, sambil menggali tanah.

Saat itu saya tidak marah, saya justru sangat terharu, karena walaupun mereka merasa sakit hati, tapi mereka rela menggali kuburan untuk saya. Sungguh, rasanya saya ingin meminta maaf, saya ingin memohon agar mereka tidak menyimpan dendam terhadap saya. Kalau bisa, saya rasanya ingin menebus kesalahan-kesalahan saya kepada semua orang.

***

Dunia Lain 
Pict: 1x.com

Dari kuburan, tiba-tiba saja saya berada di tempat lain, tempat yang tidak saya kenali sama sekali. Di sekelilig saya tidak ada benda apapun, saya seperti berdiri di ruang hampa, berarna putih dan membuat silau mata saya.

Di sana saya mendengar suara dari dua sosok yang tidak bisa saya lihat. Suara itu membimbing saya berjalan ke suatu tempat. 

Setelah berjalan beberapa saat saya melihat di di depan saya ada jurang. Saya melangkah dan menengok ke bawah jurang itu. Jurang itu ternyata sangat dalam. Entah berapa ratus meter, saya tidak bisa memperkirakan kedalamannya. Yang pasti itu adalah jurang yang sangat dalam dan terjal. 

Saya perhatikan lebih seksama, dari dalam jurang itu ada kilatan-kilatan cahaya, berkerlap-kerlip. Entah apa cahaya itu. Ketika saya melihat jauh ke depan, samar-sama saya melihat sebuah garis, mirip jembatan. Entah berapa meter ukurannya, yang jelas sangat-sangat panjang sampai tak terlihat ujungnya. 

Saat itu saya rasakan adalah rasa gelisah, bingung, sedih, segalanya bercampur-aduk. Sambil terus berdzikir saya bergumam dalam hati "Ya Allah.. dimana aku? Apa arti semua ini? Kenapa aku ada di sini? Ya Allah.. kembalikan aku pada keluargaku".

Dada saya rasanya sesak, kepala saya berat. Saya menyesal kenapa saya tak banyak berbuat baik. "Bagaimana kalau tak bisa kembali? Bagaimana nasib istri dan anak-anak?", pikir saya.

Tak lama kemudian, suara dua sosok yang tadi membimbing saya berbicara lagi, kurang lebih begini “Yana, ayeuna mah can waktuna, gera balik deui ka alam dunya”. Artinya “Yana, sekarang belum saatnya, bergegas lah kembali ke alam dunia”. Saya masih ingat betul bagaimana suara sosok itu, suara yang aneh, tak pernah saya dengar sebelumnya.

Setelah itu, tiba-tiba saja saya berada di depan rumah emak. Dari kejauhan, saya melihat jasad saya sedang dimandikan oleh Pak Ustad, mantri, seorang tetangga, dan anak laki-laki saya yang masih saja meneteskan air mata. 

Saat itu, saya merasa sangat sakit ketika jasad saya sedang dimandikan. Setiap gerakan seperti mengucurkan air, menggosokan sabun, dan lain-lainnya terasa dengan sangat jelas sebagaimana saya sedang mandi sendiri, tapi yang ini rasanya sangat sakit, padahal saya lihat jasad saya dimandikan dengan sangat hati-hati.

Setelah itu, jasad saya ditutupi kain, lalu bergegas diangkut kembali ke dalam rumah. Saya kemudian melihat diri saya dikafani diiringi lantunan doa yang dibacakan para pelayat.

Rasaya saya sangat sedih, sangat-sangat sedih. Tubuh saya terlihat terkulai tak berdaya. Mata saya terpejam. "Mmm... Jadi, begini wajah yang dilihat istri saya ketika saya tidur", pikirku.

Setelah jasad saya selesai dikafani, saya melihat jasad saya ditutupi dengan kain batik sebanyak 7 helai. Rasanya sesak, sesak sekali. "Apakah ini akhirnya? Apakah ini yang disebut kematian?"

Istri dan anak-anak saya terus saja menangis.

"Pa, tega sekali bapa ninggalin mamah.. Bagaimana mamah hidup tanpa bapa? Ya Allah...", tangis istri saya sambil memeluk jasad saya.

"Mah, kenapa bapa tiba-tiba gini mah? Aa gak iklas mah.. Kenapa mah?", ucap anak saya.

Hati saya perih. Kesedihan yang saya rasakan saat itu tak ada bandingannya. Saya pun mendekat ke arah mereka lalu berusaha memeluknya namun tak bisa. Tak bisa. Saya tak ada kesempatan lagi bersentuhan dengan mereka, orang-orang yang sangat berarti dalam hidup saya.

"Mamah, geulis bojo bapa.. Aa, teteh, buah hate bapa.. Hapunten geulis, kasep.. Deudeuh teuing.. Hapunten bapa.. Kahoyong mah sasarengan, tapi meureun ngan seret dieu bagean bapa... Mamah, hatur nuhun mah, ti ngawitan urang wanoh dugika ayeuna, kanyaah mamah karaos, katampi ku bapa. Titip si aa sareng si teteh. Sing jalembar manah geulis, kasep", tangisku pecah.

***

Ketika jasad saya akan digotong menuju tempat pemakaman, saya sudah pasrah. Mungkin memang inilah akhir saya hidup di dunia. 

Lalu saya mendekati jasad saya, dan berniat berbaring di atas jasad saya, untuk ikut  dikuburan. Entah bagaimana bisa terjadi, saya merasakan tubuh saya, rasanya saya bisa menggerakan jari-jari saya, dan bisa merasakan mata saya. Saya bisa membuka mata saya, dan melihat dengan jelas di bawah kain batik. Mungkin saat itu lah roh saya menyatu kembali dengan jasad saya yang sudah dikafani (Wallahualam).

Walau pun berat, saya mencoba untuk duduk, dan benar saja, saya bisa duduk. Saya menyatu kembali dengan jasad saya.

Lalu saya melihat para tetangga berhamburan ke luar. Mereka ketakutan setengah mati seperti melihat hantu. Bahkan pak Ustad pun lari terbirit-birit, dan kepalanya sempat tak sengaja terbentur ke ujung pintu karena badannya yang tinggi. Wajar saja, saat itu, saya yang sudah dikafani dan dinyatakan meninggal tiba-tiba duduk seperti hantu pocong.

Saat itu hanya ema, istri dan anak-anak saya saja lah yang tidak lari. Mereka kaget, namun segera memeluk saya dengan erat.

"Ujang... ujang anak ema...", "Bapa...", tangis mereka pecah.

"Apakah ini mimpi? Apakah saya masih hidup?, saya bertanya-tanya di dalam hati.

***

Pengalaman itu adalah pengalaman yang tak pernah saya lupakan. Saya bersyukur karena Tuhan memberikan pengalaman itu, sehingga saya bisa terus berusaha memperbaiki diri dan ibadah saya agar lebih siap menghadapi kematian. 


*Diadopsi dari kisah nyata (nama tokoh disamarkan)
Thumbnail Pict: 
powerofpositivity.com

Bagikan Artikel Ini

Posting Komentar

0 Komentar