“Kami tidak bisa dipisahkan dari gunung, karena gunung memberi kami segalanya.”
Dalam kepercayaan kami sebagai orang Sunda,
gunung dianggap sebagai tempat yang sakral. Gunung bukan tempat sembarangan. Dahulu,
orang tuaku pernah bercerita bahwa gunung seringkali dijadikan tempat bertapa, mencari
ilmu, mendapat pencerahan dan meraih ketenangan jiwa. Aku juga ingat, walaupun
kami hidup di kaki gunung, tapi sejak kecil, aku dan teman-teman sebayaku tidak
boleh sembarangan pergi ke gunung, khususnya ke area ‘leuweung larangan’ atau
hutan terlarang. Hingga saat ini, aku juga tidak pernah mencoba untuk masuk ke
dalamnya tanpa alasan. Bukan karena dilarang para sesepuh, tapi di hari-hari
biasa memang semua orang tidak melakukannya.
Ketika kecil, aku memahami leuweung larangan
sebagai tempat sakral yang dihuni roh-roh penjaga gunung. Yang aku pikirkan
“Jika manusia dengan sembrono masuk ke dalamnya, bersiap-siaplah untuk
berhadapan dengan sosok menyeramkan yang tak akan membiarkanku kembali ke rumah”.
Nilai sakralitas gunung juga semakin terasa karena warga desa secara rutin
melakukan ritual tradisional di gunung, seperti ‘ruwatan cai’ atau
ruwatan air.
Ruwatan cai kurang lebih berisi doa bersama, bersih-bersih di sumber mata air di dalam hutan, dan penanaman pohon yang menghasilkan buah dan tidak menghasilkan buah. Dahulu, aku hanya memahami ritual tersebut sebatas ungkapan rasa syukur warga desa terhadap limpahan rezeki, khususnya air yang didapatkan dari gunung, dan sebagai jalan ‘berdamai’ dengan para karuhun atau roh leluhur.
Setelah dewasa aku baru memahami bahwa leuweung larangan tidak boleh sembarangan dimasuki karena merupakan intisari dari kehidupan. Salah satu contoh hal yang terdapat di sana adalah sumber mata air. Lalu, ternyata ruwatan cai adalah salah satu cara kami untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Sumber mata air harus dijaga ketat karena merupakan sumber kehidupan. Penanaman pohon juga penting untuk mempertahankan resapan air dan mengokohkan tanah. Pohon buah-buahan seperti jengkol dan petai juga perlu ditanam untuk sumber makanan ‘orang gunung’ atau hewan-hewan di gunung, sehingga tidak kekurangan makanan dan ‘turun’ ke pemukiman warga. Dengan kata lain, kami bisa ‘hidup’ hanya jika gunung dan hutan masih terjaga.
Beberapa tahun ini, desa kami semakin banyak
dikunjungi oleh para wisatawan. Tentu saja, keindahan alam menjadi daya tarik
utamanya. Namun sangat disayangkan, kehadiran para pelancong juga memberi
dampak negatif. Kini banyak tempat wisata yang dibuka. Sakralitas gunung
menjadi semakin berkurang. Leuweung larangan sudah lebih sering dijamah.
Ritual pun hanya dianggap sebagai pertunjukan unik.
Bisa dibayangkan, apa yang terjadi jika manusia
menelantarkan gunung dan sumber air? Tentu saja gunung tidak akan lagi menjadi
sumber kehidupan, namun akan melemahkan warga bahkan menjadi ancaman yang
mematikan. Maka dari itu, aku dan beberapa kawan seperjuangan di sisiku, mulai
bergerak untuk membuat warga desa dan para wisatawan agar lebih ‘sadar kawasan’
dan ‘sadar lingkungan’.
Berbagai tahapan ruwatan cai kami adopsi untuk
diterapkan di masa kini. Kami juga memanfaatkan kemudahan teknologi, khususnya
internet untuk mengedukasi bahwa ajaran para leluhur sejak zaman dahulu adalah
hal yang sangat penting untuk kehidupan. Gunung itu sakral bukan berarti untuk
dipuja-puja, dan dijadikan tempat meminta-minta. Tetapi gunung adalah tempat
kita hidup dan yang menghidupi kita. Sumber air pun bukan untuk diagungkan dan
disembah, tapi harus dijaga dan dirawat karena air adalah intisari kehidupan.
Salam dariku, anak gunung dari Sumedang.
Thumbnail Pict: Iwona Podlasinska
0 Komentar