Saya adalah seorang seniman. Saya sudah menikah, dan sampai hari ini memilih untuk belum memiliki anak. Ini adalah keputusan yang sangat personal. Tentu saja, saya menghargai perempuan yang memilih untuk memiliki anak lebih awal. Namun ternyata, keputusan saya ini tak hanya menjadi bahan pertanyaan, tetapi juga sering dijadikan senjata oleh sesama perempuan untuk menjatuhkan saya.
Salah satu kalimat yang paling sering saya dengar adalah, “Wajar kamu bisa produktif, kamu kan belum punya anak.” Sepintas terdengar seperti pernyataan biasa, tetapi kenyataannya kalimat ini bisa sangat menyakitkan. Bukan hanya karena ia mengabaikan perjuangan saya sebagai seniman dan aktivis yang terus menciptakan ruang di tengah keterbatasan, tetapi juga karena ia memperkecil nilai kerja keras saya hanya berdasarkan status reproduksi. Seolah-olah produktivitas perempuan hanya sah jika ia telah memenuhi ekspektasi sosial sebagai istri dan ibu.
Saya kemudian mulai menyadari bahwa pola serupa juga dialami banyak perempuan lain. Perempuan yang masih lajang sering direndahkan oleh perempuan lain yang sudah menikah, seakan-akan mereka belum menjadi perempuan seutuhnya karena belum memiliki pasangan. Sementara perempuan yang memilih untuk tidak menikah justru dipandang sebagai ancaman atau dianggap gagal menjalani hidup sebagai perempuan. Perempuan yang berkarya di bidang seni atau aktivisme juga sering tidak dianggap serius hanya karena profesinya tidak sesuai dengan standar kerja formal yang dibayangkan masyarakat.
Ironisnya, penilaian semacam ini justru sering datang dari sesama perempuan. Ini membuat saya bertanya, mengapa perempuan sering menjadi pihak yang saling menjatuhkan?
Banyak perempuan tumbuh dalam lingkungan yang keras, penuh tuntutan, dan minim ruang aman untuk membangun kepercayaan diri. Sejak kecil mereka dibiasakan untuk bersaing, siapa yang paling cantik, paling cepat menikah, paling patuh, atau paling sesuai harapan sosial.
Perempuan sering dibandingkan satu sama lain dan tumbuh dengan luka serta trauma yang tidak selalu disadari. Semua itu perlahan membentuk pola pikir kompetitif yang menyusup ke dalam relasi sehari-hari. Akibatnya, banyak perempuan merasa harus terus membuktikan nilai dirinya, kadang dengan cara meremehkan perempuan lain. Bentuknya bisa sangat halus, seperti komentar menyindir, candaan yang merendahkan, atau gosip yang dikemas seolah-olah ringan.
Ketika melihat perempuan lain yang tampak bahagia, percaya diri, atau berhasil, rasa tidak aman bisa muncul. Lalu, demi mempertahankan harga diri, seseorang mencari celah untuk mengkritik atau meremehkan. Mungkin bukan karena niat jahat, melainkan karena masih berjuang menghadapi luka yang belum pulih.
Saya percaya bahwa perempuan yang menjatuhkan perempuan lain tidak selalu bermaksud buruk. Bisa jadi mereka sedang terluka, sedang merasa tidak cukup, atau sedang bingung dengan arah hidupnya sendiri. Perempuan yang sejak kecil sering dibandingkan, dituntut sempurna, atau merasa tidak pernah cukup bisa tumbuh menjadi pribadi yang selalu merasa kurang.
Dalam kondisi itu, merendahkan orang lain terasa seperti satu-satunya cara untuk mempertahankan nilai dirinya. Maka lahirlah komentar seperti, “Wajar kamu punya banyak waktu, kamu belum punya anak,” atau “Ya iyalah kamu bisa jalan-jalan, kamu kan kerja di dunia seni, bukan kantoran.” Ini bukan semata bentuk iri, tetapi bentuk pertahanan diri agar harga dirinya tidak runtuh.
Sayangnya, perilaku ini bukan hanya menyakiti orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri. Rasa iri yang terus dipelihara dapat meningkatkan stres, mengganggu kualitas tidur, dan bahkan menurunkan sistem imun. Secara sosial, ia menciptakan jarak antar perempuan, padahal kita semua sedang menghadapi tekanan yang sama dalam masyarakat yang masih patriarkal.
Yang dibutuhkan bukanlah persaingan, melainkan solidaritas. Perempuan dapat menjadi penopang utama bagi satu sama lain jika mau berhenti menilai hidup orang lain dari apa yang belum dimilikinya. Menghargai pilihan hidup perempuan lain tidak membuat kita kalah. Justru dengan saling mendukung, kita bisa menciptakan ruang yang lebih sehat dan aman secara emosional maupun sosial.
Saya menulis ini bukan untuk menghakimi, melainkan sebagai ajakan untuk refleksi bersama. Mungkin kita pernah tanpa sadar menyakiti perempuan lain. Mungkin kita juga pernah menjadi korban dari komentar yang menyudutkan. Tetapi hari ini, kita bisa memilih. Memilih untuk tidak ikut arus saling menjatuhkan dan memilih untuk mengulurkan tangan, bukan menunjuk.
Kita semua sedang tumbuh di jalan yang berbeda. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Hanya berbeda. Dan perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kekayaan. Jika kita ingin dunia ini lebih adil bagi perempuan, maka langkah pertamanya adalah berhenti saling menjadi musuh.
Salam hangat,
Bunga Dessri (28 Mei 2025)
#perempuan #womansupportwoman #puspakarima
0 Komentar